Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perkembangan Masyarakat Indonesia pada Masa Kolonial

Perkembangan Masyarakat Indonesia pada Masa Kolonial, Materi Sejarah SMA IPA

Usaha bangsa Barat untuk mendapatkan benua baru dipelopori oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang ingin mendapatkan rempah-rempah. Bartholomeu Dias (1492) dan Vasco da Gama (1498) berkebangsaan Portugis berlayar menyusuri pantai barat Benua Afrika akhirnya tiba di Kalkuta, India. Kemudian mereka membangun kantor dagang di Kalkuta dan berdagang di Asia Tenggara. Pada tahun 1512, Portugis masuk ke Maluku sedangkan Spanyol masuk ke Tidore (1521) untuk mencari rempah-rempah.

Columbus, orang Italia berhasil mengarungi samudra dari timur ke barat yang kemudian sampai di Amerika. Perjalanan Columbus diikuti oleh Ferdinand de Magelhaens seorang pelaut Spanyol (1519) yang berkeliling dunia ke arah barat melalui ujung Amerika Selatan mengarungi Pasifik, yang kemudian sampai di Filipina. Akan tetapi, ia tewas terbunuh oleh penduduk asli Filipina. Pelayaran dilanjutkan oleh anak buahnya, Pigafetta yang berlayar melalui Maluku untuk mencari rempah-rampah. Pigafetta tiba kembali di Spanyol pada tahun 1522. Magelhaens membuktikan bahwa bumi ini bulat.

Selanjutnya para pedagang Belanda memanfaatkan penemuan-penemuan di atas untuk ikut juga mencari rempah-rempah ke Indonesia. Alasan Belanda mencari dunia baru karena kesulitan mendapatkan rempah-rempah dari Laut Tengah sehingga berupaya mencari sendiri rempah-rempah ke dunia Timur (Indonesia). Pada tahun 1596, pedagang Belanda dengan empat buah kapal di bawah Cornelis de Houtman berlabuh di Banten. Mereka mencari rempah-rempah di sana dan daerah sekitarnya untuk diperdagangkan di Eropa. Namun, karena kekerasan dan kurang menghormati rakyat maka diusir dari Banten. Kemudian pada tahun 1598, pedagang Belanda datang kembali ke Indonesia di bawah Van Verre dengan delapan kapal dipimpin Van Neck, Jacob van Heemkerck datang di Banten dan diterima Sultan Banten Abdulmufakir dengan baik. Sejak saat itulah ada hubungan perdagangan dengan pihak Belanda sehingga berkembang pesat perdagangan Belanda di Indonesia.

Namun, tujuan dagang tersebut kemudian berubah. Belanda ingin berkuasa sebagai penjajah yang kejam dan sewenang-wenang, melakukan monopoli perdagangan, imperialisme ekonomi, dan perluasan kekuasaan. Untuk semakin mudah mencari kekayaan serta mengurangi persaingan dagang antarpedagang Belanda serta memperkuat persaingan dengan pedagangan Barat lainnya, dibentuklah VOC.

Inskripsi
Kedatangan bangsa Barat ke Indonesia adalah untuk:
  • berdagang rempah-rempah untuk kekayaan (gold),
  • mencari kejayaan (glory), dan
  • menyebarkan agama (gospel).

A. Kebijakan Pemerintah Kolonial di Indonesia

1. Indonesia pada masa VOC

Setelah bangsa Belanda berhasil menanamkan kekuasaan perdagangan dan ekonomi di Indonesia maka pada tanggal 20 Maret 1602 Belanda membentuk kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dianjurkan oleh Johan van Olden Barnevelt yang mendapat izin dan hak istimewa dari Raja Belanda. Alasan pendirian VOC adalah adanya persaingan di antara pedagang Belanda sendiri, adanya ancaman dari komisi dagang lain, seperti (EIC) Inggris, dan dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Untuk mendapatkan keleluasaan usaha di Indonesia, VOC memiliki hak oktroi, yaitu hak istimewa.
Perkembangan Masyarakat Indonesia pada Masa Kolonial, Materi Sejarah SMA IPA

Inskripsi
Hak oktroi VOC meliputi:
  • hak monopoli perdagangan,
  • hak memiliki tentara,
  • hak mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Indonesia,
  • hak mencetak uang,
  • hak untuk mengumumkan perang, dan
  • hak mendirikan benteng.

Akan tetapi, VOC harus tetap tunduk kepada pemerintah di Negara Belanda. Adapun tujuan mendirikan VOC adalah menghindari persaingan dagang antarpenguasa Belanda, mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dan bersaing dengan bangsa lain.

Di samping itu, VOC juga melakukan pelayaran Hongi, yakni misi pelayaran Belanda yang ditugasi mengawasi, menangkap, dan mengambil tindakan terhadap para pedagang dan penduduk pribumi yang dianggapnya melanggar ketentuan perdagangan Belanda. Pada saat itu, produksi rempah-rempah di Maluku meningkat hingga kelebihan produksi. Untuk itu, VOC mendapat hak eksterpasi, yakni hak untuk menebang tanaman rempah-rempah yang dianggap kelebihan jumlahnya dengan tujuan untuk menstabilkan harga (harga rempah-rempah tetap tinggi).

VOC juga mendapat hak memungut pajak yang disebut:
  • Verplichte Leverantie, yaitu kewajiban bagi raja pribumi untuk membayar pajak hasil bumi kepada Belanda;
  • Contingenten, yaitu pajak sewa tanah yang harus dibayar rakyat dengan hasil bumi.

Pengurus VOC semula hanya 60 orang, tetapi dianggap terlalu banyak sehingga diadakan pemilihan pengurus dan hanya tinggal 17 orang yang diambil dari beberapa kota. Mereka yang terpilih menjadi pengurus disebut Dewan 17 (De Heeren Seventien atau Tuan-Tuan 17) dan ketika VOC banyak urusannya maka Dewan 17 mengangkat Gubernur Jenderal (Raad van Indie) Pieter Both pada tahun 1610. Ia adalah Gubernur Jenderal VOC yang pertama di Indonesia.

Usaha VOC semakin berkembang pesat (1623) dan berhasil menguasai rempah-rempah di Ambon dalam peristiwa Ambon Massacre. Selanjutnya tahun 1641, VOC berhasil merebut Malaka dari tangan Portugis. VOC selalu menggunakan Batigslot Politiek (politik mencari untung, 1602 – 1799) dengan memegang monopoli Belanda di Indonesia. Selain itu, VOC menjalankan politik devide et impera, yakni sistem pemecah belah di antara rakyat Indonesia.

VOC mampu menguasai Indonesia pada masa itu disebabkan oleh:
  • VOC adalah organisasi dagang yang tertib dan para pengurusnya bekerja keras sehingga maju dengan pesat,
  • banyak kerajaan di Indonesia yang mudah dikuasai VOC karena politik adu domba,
  • para pedagang di Nusantara belum memiliki kesatuan dan persatuan yang kuat.

Ada beberapa bukti politik adu domba VOC yang berhasil menguasai kerajaan Nusantara:
  • VOC berhasil membantu Sultan Haji dalam merebut Banten dari tangan Sultan Ageng Tirtayasa.
  • Dalam permusuhan antara Aru Palaka (Raja Bone) dan Hasanuddin (Sultan Makassar), VOC membantu Aru Palaka sehingga terjadilah Perjanjian Bongaya yang menyebabkan Makassar jatuh ke tangan VOC.
  • VOC berhasil memecah belah Mataram menjadi tiga: kasunanan, kesultanan, dan mangkunegaran.

Perjalanan kongsi dagang VOC lama kelamaan mengalami kemunduran, bahkan VOC runtuh pada tanggal 31 Desember 1799. Kemunduran VOC disebabkan hal-hal berikut:
  • Perang-perang yang dilakukan membutuhkan biaya yang besar padahal hasil dari bumi Indonesia telah terkuras habis dan kekayaan Indonesia sudah telanjur terkirim ke negeri Belanda. VOC tidak kuat lagi membiayai perang-perang tersebut.
  • Kekayaan menyebabkan para pegawai VOC melupakan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab mereka terhadap pemerintah dan masyarakat. Untuk lebih memperkaya diri, mereka melakukan tindak korupsi. Merajalelalah korupsi di Indonesia maupun di negeri Belanda.
  • Terjadinya jual beli jabatan. Seorang VOC yang ingin pulang ke negerinya karena sudah terlampau kaya atau pensiun dapat menjual jabatannya kepada orang lain dengan harga tinggi. Hal ini akan menjadi sistem suap yang merajalela.
  • Tumbuhnya tuan-tuan tanah partikelir. Pemerintah yang kekurangan biaya untuk membiayai pemerintahannya dan perang terpaksa menjual tanah-tanah yang luas kepada orang-orang partikelir dengan hak pertuanan.
  • Kekurangan biaya tersebut tidak dapat ditutup dengan hasil penjualan tanah saja, VOC harus juga mencari pinjaman. Akibatnya, utang VOC semakin besar.
  • Pada akhir abad ke-18, VOC tidak mampu lagi memerangi pedagang-pedagang Eropa lainnya (Inggris, Prancis, Jerman) yang dengan leluasa berdagang di Nusantara sehingga monopoli VOC hancur.

Keberadaan VOC sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga harta milik dan utang-utangnya diambil alih oleh pemerintah negeri Belanda. Pemerintah kemudian membentuk Komisi Nederburg untuk mengurusinya, termasuk mengurusi wilayah VOC di Indonesia (1800 – 1907).

2. Indonesia pada masa penjajahan Belanda I

Tahun 1807 – 1811, Indonesia dikuasai oleh Republik Bataaf bentukan Napoleon Bonaparte, penguasa di Prancis (Belanda menjadi jajahan Prancis). Napoleon Bonaparte mengangkat Louis Napoleon menjadi wali negeri Belanda dan negeri Belanda diganti namanya menjadi Konikrijk Holland. Untuk mengurusi Indonesia, Napoleon mengangkat Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal di Indonesia (1808 – 1811).

Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa dari serangan Inggris sehingga pusat perhatian Daendels ditujukan kepada pertahanan dan keamanan. Adapun langkah-langkah yang ditempuh Daendels sebagai berikut:
  • Membentuk tentara gabungan yang terdiri atas orang-orang Bugis, Makassar, Bali, Madura, dan Ambon.
  • Menjadikan kota Batavia sebagai benteng pertahanan.
  • Membuat galangan beserta kapalnya di Surabaya.
  • Membangun pelabuhan Cirebon, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Tanjung Merak.
  • Membangun jalan raya dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 km. Pembangunan jalan ini menyebabkan ribuan orang mati karena kelelahan, siksaan, kelaparan, dan penyakit. Daendels tidak pernah mau menghiraukan penderitaan rakyat sehingga ia mendapat julukan jenderal guntur.

Untuk memperoleh dana, Daendels menjual tanah-tanah kepada orang-orang swasta. Akibatnya, tanah-tanah partikelir mulai bermunculan di sekitar Batavia, Bogor, Indramayu, Pamanukan, Besuki, dan sebagainya. Bahkan, rumahnya sendiri di Bogor dijual kepada pemerintah, tetapi rumah itu tetap ditempatinya sebagai rumah tinggalnya. Tindakan dan kekejaman Daendels tersebut menyebabkan raja-raja Banten dan Mataram memusuhinya.

Untuk menutup utang-utang Belanda dan biaya-biaya pembaharuan tersebut, Daendels kembali menjual tanah negara beserta isinya kepada swasta, sehingga timbullah sistem tuan tanah di Jawa yang bertindak sebagai raja daerah, misalnya di sekitar Batavia dan Probolinggo.

Kekejaman Daendels tersebut terdengar sampai ke Prancis. Akhirnya, dia dipanggil pulang karena dianggap memerintah secara autokrasi dan Indonesia diperintah oleh Jansens.

3. Indonesia pada masa penjajahan Inggris

Keberhasilan Inggris mengalahkan Prancis di Eropa menyebabkan kekuasaan Belanda atas Indonesia bergeser ke tangan Inggris. Untuk itulah ditandatangani Kapitulasi Tuntang (1811) yang isinya Belanda menyerahkan Indonesia ke tangan Inggris dari tangan Jansens kepada Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan Gubernur Jenderal Inggris untuk Indonesia. Oleh karena itu, beralihlah Indonesia dari tangan Belanda ke tangan Inggris.

Adapun langkah-langkah yang diambil Raffles adalah
  • membagi Pulau Jawa menjadi 16 karesidenan,
  • para bupati dijadikan pegawai negeri,
  • melaksanakan perdagangan bebas,
  • melaksanakan land rente (pajak sewa tanah) dan Raffles menjual tanah kepada swasta,
  • menghapuskan perbudakan,
  • kekuasaan para raja dikurangi, Di Yogyakarta, Pangeran Notokusumo diangkat sebagai Paku Alam (1813). Akibatnya, Mataram Yogyakarta pecah menjadi dua, yakni Kasultanan Yogyakarta di bawah HB III dan Paku Alaman di bawah Paku Alam I.

Pada tanggal 13 Agustus 1814, di Eropa ditandatangani Perjanjian London oleh Inggris dan Belanda yang isinya Belanda memperoleh kembali sebagian besar daerah koloninya, termasuk Indonesia. Oleh karena itu pada tahun 1816, Raffles meninggalkan Indonesia dan Belanda kembali berkuasa di Indonesia.

4. Indonesia pada masa penjajahan Belanda II

Dengan Perjanjian London, Belanda memperoleh kembali jajahannya atas Indonesia. Kemudian Belanda membentuk Komisaris Jenderal yang akan melaksanakan kembali kekuasaan di Indonesia yang beranggotakan Elout, Buyskes, dan Van der Capellen. Namun oleh Inggris, ada wilayah Indonesia yang tidak dikembalikan kepada Belanda, yakni daerah Sumatra dan sekitarnya.

Pada bulan Maret 1816, Raffles menyerahkan kekuasaannya kepada John Fendall. Setelah itu, Raffles segera menuju Singapura dan membangun kota Singapura (1819). Singapura dijadikan pusat pertahanan Inggris sampai Perang Dunia II. Sementara itu, bekas wilayah kekuasaan Raffles diserahkan oleh John Fendall kepada Komisaris Jenderal pada tanggal 19 Agustus 1816. Dengan demikian, Indonesia sepenuhnya menjadi daerah kekuasaan Belanda dan diberi nama Nederlands Indie (Hindia Belanda).

Kehadiran Belanda kembali ke Indonesia banyak ditentang oleh rakyat dan raja-raja daerah sebab pada masa lalu kekuasaan raja banyak dikurangi. Belanda juga pernah melaksanakan monopoli dagang yang merugikan rakyat sehingga menimbulkan rasa antipati rakyat terhadap Belanda. Kebencian ini lalu menimbulkan gerakan anti penjajahan Belanda seperti perlawanan Thomas Matulessi, Perang Diponegoro, dan Perang Padri.

a. Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
Pada tahun 1830, pemerintah Belanda mengangkat gubernur jenderal yang baru untuk Indonesia, yaitu Van den Bosch, yang diserahi tugas untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor, seperti tebu, teh, tembakau, merica, kopi, kapas, dan kayu manis. Dalam hal ini, Van den Bosch mengusulkan adanya sistem tanam paksa.

Adapun hal-hal yang mendorong Van den Bosch melaksanakan tanam paksa, antara lain, Belanda membutuhkan banyak dana untuk membiayai peperangan, baik di negeri Belanda sendiri maupun di Indonesia. Akibatnya, kas negara Belanda kosong. Sementara itu, di Eropa terjadi perang Belanda melawan Belgia (1830 – 1839) yang juga menelan banyak biaya.

Tujuan diadakannya tanam paksa adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, guna menutupi kekosongan kas negara dan untuk membayar utangutang negara. Adapun pokok-pokok aturan tanam paksa sebagai berikut.
  • Seperlima tanah penduduk wajib ditanami tanaman yang laku dalam perdagangan internasional/Eropa.
  • Tanah yang ditanami bebas pajak.
  • Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi.
  • Hasil tanaman perdagangan diserahkan kepada pemerintah dan jika harga yang ditaksir melebihi pajak, kelebihan itu milik rakyat dan diberikan cultuur procenten (hadiah karena menyerahkan lebih). Akibatnya, rakyat saling berlomba untuk mendapatkannya.
  • Kegagalan tanaman/panen menjadi tanggung jawab pemerintah.

Pelaksanaan tanam paksa diselewengkan oleh Belanda dan para petugasnya yang berakibat membawa kesengsaraan rakyat. Bentuk penyelewengan tersebut, misalnya, kerja tanpa dibayar untuk kepentingan Belanda (kerja rodi), kekejaman para mandor terhadap para penduduk, dan eksploitasi ke- kayaan Indonesia yang dilakukan Belanda.

Melihat penderitaan rakyat Indonesia, kaum humanis Belanda menuntut agar tanam paksa dihapuskan. Tanam paksa mengharuskan rakyat bekerja berat selama musim tanam. Penderitaan rakyat bertambah berat dengan adanya kerja rodi membangun jalan raya, jembatan, dan waduk. Selain itu, rakyat masih dibebani pajak yang berat, sehingga sebagian besar penghasilan rakyat habis untuk membayar pajak. Akibatnya, rakyat tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga kelaparan terjadi di mana-mana, seperti Cirebon, Demak, dan Grobogan.

Sementara itu di pihak Belanda, tanam paksa membawa keuntungan yang besar. Praktik tanam paksa mampu menutup kas negara Belanda yang kosong sekaligus membayar utang-utang akibat banyak perang.

Adapun tokoh-tokoh kaum humanis anti tanam paksa sebagai berikut.
  • Eduard Douwes Dekker yang memprotes pelaksanaan tanam paksa melalui tulisannya berjudul Max Havelaar. Dalam tulisan tersebut, ia menggunakan nama samaran Multatuli, artinya aku yang menderita.
  • Baron van Hoevell, ia seorang pendeta di Batavia yang berjuang agar tanam paksa dihapuskan. Usahanya mendapat bantuan Menteri Keuangan Torbecke.
  • Fransen van de Pute, ia seorang anggota Majelis Rendah yang mengusulkan tanam paksa dihapuskan.
  • Van Deventer, pada tahun 1899, menulis artikel berjudul Een Eereschuld (Utang Budi) yang dimuat dalam majalah De Gids. Artikel tersebut berisi, antara lain, Trilogi Van Deventer yang mencakup edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Edukasi artinya mendirikan sekolah-sekolah bagi pribumi dan akhirnya akan melahirkan kaum cerdik pandai yang memelopori pergerakan nasional Indonesia. Irigasi artinya mengairi sawah-sawah, namun pada praktiknya yang diairi hanya perkebunan milik Belanda. Transmigrasi artinya memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, misalnya Sumatra. Namun praktiknya berubah menjadi emigrasi, yaitu memindahkan penduduk Indonesia ke Suriname untuk kepentingan perkebunan Belanda.

Akhirnya, tanam paksa dihapuskan, diawali dengan dikeluarkannya undang-undang (Regrering Reglement) pada tahun 1854 tentang penghapusan perbudakan. Namun pada praktiknya, perbudakan baru dihapuskan pada tanggal 1 Januari 1860. Selanjutnya, pada tahun 1864 dikeluarkan Undang-Undang Keuangan (Comptabiliteits Wet) yang mewajibkan anggaran belanja Hindia Belanda disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, ada pengawasan dari Badan Legislatif di Nederland. Kemudian pada tahun 1870 dikeluarkan UU Gula (Suiker Wet) dan UU Tanah (Agrarische Wet). Tanam paksa benar-benar dihapuskan pada tahun 1917. Sebagai bukti, kewajiban tanam kopi di Priangan, Manado, Tapanuli, dan Sumatra Barat dihapuskan.

b. Kolonial Liberal
Setelah tanam paksa dihapuskan, pemerintah Belanda melaksanakan politik kolonial liberal di Indonesia dengan memberikan kebebasan pada pengusaha swasta untuk menanamkan modal di Indonesia. Namun, pelaksanaannya tetap menyengsarakan rakyat karena kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan kolonial Belanda. Belanda tetap melaksanakan cara-cara menguasai bangsa Indonesia dengan perjanjian, perang, dan pemecah belah.

Pelaksanaan politik kolonial liberal sering disebut Politik Pintu Terbuka (Opendeur Politiek), yaitu membuka modal swasta asing untuk ditanamkan di Indonesia. Dengan politik tersebut, Indonesia sebagai tempat untuk mendapatkan bahan mentah, mendapatkan tenaga yang murah, tempat pemasaran barang produk Eropa serta tempat penanaman modal asing. Modal swasta Belanda serta modal bangsa Barat lainnya masuk ke Indonesia dan ditanamkan ke dalam pertanian dan perkebunan sehingga perkebunan tebu dan tembakau berkembang pesat.

Pembukaan daerah perkebunan di luar Jawa seperti di Sumatra menjadi semakin luas, sehingga membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Oleh karena itu, muncullah sistem kontrak (kuli kontrak). Untuk menjamin agar para kuli tidak melarikan diri sebelum habis kontraknya, dikeluarkanlah peraturan Koeli Ordonnantie yang berisi ancaman hukuman bagi para pekerja perkebunan yang melanggar ketentuan.

Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata banyak mendatangkan penderitaan bagi rakyat terutama buruh sebab upah yang mereka terima tidak seperti yang tertera dalam kontrak. Akibatnya, banyak buruh yang melarikan diri, terutama dari Deli, Sumatra Utara.

Dari kenyataan di atas jelas Belanda tetap masih melaksanakan usaha menindas bangsa Indonesia. Hal ini dapat kita lihat pada hal-hal berikut.
  • Kegiatan ekonomi baik perdagangan atau perkebunan tetap dimonopoli Belanda walaupun dilaksanakan oleh kaum swasta Belanda sehingga tetap membawa kesengsaraan rakyat Indonesia.
  • Belanda melaksanakan politik mencari untung sendiri dengan mendirikan kongsi angkatan laut Belanda (KLM) dan angkatan udara (KPM).
  • Lewat perjanjian dan perang untuk menindas segala bentuk perlawanan terhadap Belanda.
  • Banyak campur tangan di kalangan istana agar mudah memengaruhi para penguasa kerajaan.

Selanjutnya pada awal abad ke-20, dari pihak Belanda mulai muncul sikap agak lunak, bahkan pada tahun 1918, Van Limburg Stirum memberikan "Janji November" yang isinya bahwa setelah Perang Dunia I, Indonesia akan diberi kemerdekaan. Untuk itu lalu dibentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang merupakan alat keikutsertaan bangsa Indonesia dalam menentukan nasibnya.

B. Perkembangan Sistem Pemerintahan, Struktur Birokrasi, dan Sistem Hukum pada Masa Kolonial

1. Sistem pemerintahan kolonial

Pemerintahan kolonial Belanda diawali dengan dibentuknya lembaga dagang VOC yang memiliki pengurus terdiri atas tujuh belas orang yang disebut De Heeren Zeventien (Dewan Tujuh Belas). Lembaga ini berpusat di negeri Belanda. Sebagai pelaksana harian di Indonesia, Dewan Tujuh Belas mengangkat gubernur jenderal yang didampingi Dewan Hindia. Dewan Hindia (Ideler) ini beranggotakan sembilan orang yang sebagian menjabat gubernur di daerah seperti Banten, Cirebon, dan Surabaya. Gubernur jenderal bersama Dewan Hindia mengemudikan pemerintahan VOC di Indonesia yang kekuasaannya tidak terbatas. Selain gubernur jenderal, diangkat pula seorang direktur jenderal yang bertugas mengurusi perniagaan serta mengurus perkapalan.

Setelah VOC runtuh, Indonesia diperintah oleh Deandels, seorang yang pandai tetapi diktator. Ia membagi Pulau Jawa menjadi sembilan karisidenan yang dikepalai oleh seorang perfect. Ia juga mendirikan pengawas keuangan (Algemene Rekenkamer). Sikap otoriter Daendels menyebabkan banyak peperangan dengan raja-raja daerah serta keburukan pemerintahannya, sehingga ditarik kembali pulang ke negeri Belanda.

Selanjutnya, Indonesia jatuh ke tangan Inggris di bawah Raffles yang memiliki kepribadian yang simpati dan liberalis. Dalam menjalankan pemerintahannya di Indonesia, Raffles didampingi oleh badan penasihat (advisory council). Adapun tindakan yang diambilnya adalah:
  • membagi Pulau Jawa menjadi 16 karesidenan, setiap karesidenan dibagi dalam distrik, setiap distrik terdapat divisi (kecamatan);
  • mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat;
  • para penguasa pribumi dan para bupati dijadikan pegawai kolonial dan digaji.

2. Struktur birokrasi kolonial

Dalam rangka politik Pax Nederlandica, Belanda banyak menggunakan tenaga pribumi yang mampu mengerjakan administrasi pemerintahan, yang memiliki keterampilan dan latihan kerja yang memadai dalam berbagai jenis kegiatan. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pribumi yang memiliki kemampuan dan keterampilan maka didirikan sekolah untuk mendapat pendidikan yang terampil dan berpengetahuan, agar nanti dapat dipekerjakan pada kantor-kantor milik pemerintah kolonial.

Pusat pemerintahan Belanda di Batavia membutuhkan banyak tenaga untuk melaksanakan tugas guna mengikat hubungan dengan daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu, adanya perluasan hubungan antara pemerintah kolonial di Batavia dengan negeri induknya, serta dengan daerah-daerah di seluruh Nusantara, menuntut adanya desentralisasi hubungan. Pemikiran yang demikian akhirnya mendorong dibentuknya Volksraad pada tahun 1918 dengan tujuan agar hubungan dengan rakyat Indonesia semakin lebih baik.

3. Sistem hukum

Pada tahun 1838, di negeri Belanda telah diundangkan hukum dagang dan hukum perdata. Hal ini terdorong oleh adanya kegiatan perdagangan hasil bumi orang-orang Belanda dengan perantara pedagang Cina. Politik hukum pemerintahan kolonial Belanda dapat diperlihatkan dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling yang menyangkut hukum orang-orang Indonesia. Dalam pasal tersebut diatur bahwa hukum perdata dan dagang serta hukum acara perdata dan pidana harus dimasukkan dalam kitab Undang-Undang. Golongan bangsa Eropa harus menganut perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda, sedangkan golongan bangsa Indonesia dan timur asing dapat dikenakan ketentuan hukum orang Eropa apabila dikehendaki.

Pada tahun 1855 sebagian dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah memuat hukum kekayaan, begitu juga hukum dagang bagi orang-orang Cina. Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda dalam membentuk kitab undang-undang bagi orang Indonesia maka hukum adat selalu menjadi bahan pertimbangan hukum.

Menurut peraturan pemerintah kolonial 1854 dan peraturan Hindia Belanda 1925, bidang hukum dan peradilan Hindia Belanda dibagi atas dua bagian, yaitu pengadilan gubernemen dan pengadilan pribumi. Pengadilan gubernemen dilaksanakan oleh pemerintah kolonial melalui pegawai pemerintahan sesuai dengan aturan hukum, sedangkan pengadilan pribumi dilaksanakan berdasarkan hukum adat yang pada umumnya tidak tertulis.

Pada tahun 1819 didirikan Hoog Gerechtschof (Mahkamah Agung), yang kemudian memiliki kekuasaan untuk mengawasi pengadilan di Jawa. Pada tahun 1869 berdasarkan keputusan raja, para pegawai pamong praja dibebaskan dari pengadilan pribumi. Pada tahun 1918 berlaku hukum pidana Hindia Belanda yang didasarkan pada kitab UndangUndang untuk pengadilan bagi orang Eropa dan pribumi tidak ada perbedaan hukum.

C. Perlawanan terhadap Kolonial Belanda

1. Perlawanan Kapitan Pattimura (1817)

Tindakan Belanda yang sewenang-wenang dan monopolinya yang merugikan menyebabkan Pattimura berkewajiban membebaskan rakyat Saparua Maluku. Residen Van den Berg menolak membayar harga perahu menurut kesepakatan. Hal ini berakibat menambah kemarahan rakyat. Pattimura yang juga dikenal dengan nama Thomas Matulessi menyerbu benteng Duurstede dan berhasil menguasainya dan residen Van den Berg terbunuh. Penggantinya ialah Letkol Groot yang berpolitik licik serta berusaha memecah belah.

Banyak pemimpin yang ditangkapnya sehingga kekuatan semakin lemah. Maka dalam pertempuran selanjutnya, Pattimura beserta kawan-kawannya tertangkap dan pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung di benteng New Victoria. Perjuangannya dibantu Christina Martha Tiahahu.

2. Perlawanan Padri (1821 – 1837)

Gerakan padri didirikan oleh tiga orang ulama, yakni Haji Miskin, Haji Piambang, dan Haji Sumanik sepulang dari Tanah Suci. Ketiga ulama tersebut sangat kecewa melihat kebiasaan masyarakat Minangkabau yang telah sangat jauh dari ajaran Islam. Usaha mereka untuk memengaruhi masyarakat mendapat perlawanan keras kaum adat hingga timbullah peperangan. Berikut sebab-sebab timbulnya perang.
  • Adanya perbedaan pendapat antara kaum ulama/padri dengan kaum adat. Kaum ulama terpengaruh gerakan wahabi menghendaki ajaran agama Islam berdasarkan alquran dan Hadis.
  • Kaum ulama ingin memberantas kebiasan buruk yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyabung ayam, dan mabuk.
  • Perebutan pengaruh antara kaum adat dan kaum ulama.

Pertempuran semula terjadi pada tahun 1825 di Minangkabau antara kaum adat dan kaum ulama. Kaum ulama dipimpin oleh Imam Bonjol. Kaum adat kemudian minta bantuan Belanda. Namun Belanda sedang terdesak, akibat perang menghadapi Pangeran Diponegoro. Maka, Belanda mengajak berunding saja dan mengakui batas wilayah kekuasaan kaum padri.

Sesudah tahun 1830, Belanda mengobarkan perang antara kaum adat melawan kaum padri, dalam hal ini Belanda membantu kaum adat. Semula pertempuran itu terjadi, tetapi setelah kaum adat sadar akan bahaya Belanda, mereka bergabung dengan kaum padri melawan Belanda sejak tahun 1832. Belanda di bawah Van den Bosch menggunakan Sistem Benteng Stelsel dan dikirimlah bantuan di bawah pimpinan Sentot Ali Basa Prawirodirjo yang kemudian memihak kepada kaum padri. Sentotpun dibuang ke Cianjur. Kemudian Belanda menyerang kota Bonjol dan mengadakan Perjanjian Plakat Panjang (1833), yang isinya:
  • penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak atau kerja rodi,
  • Belanda akan menjadi penengah jika timbul perselisihan antarpenduduk,
  • perdagangan dilakukan hanya dengan Belanda, dan
  • penduduk boleh mengatur pemerintahan sendiri.

Dengan siasat Benteng Stelsel, Belanda mengepung benteng Bonjol pada tanggal 25 Oktober 1937 sehingga Imam Bonjol tertangkap dan dibuang ke Cianjur. Pada tahun 1854, Imam Bonjol wafat di Manado.

3. Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825 – 1830)

Sejak awal abad ke-18 Belanda memperluas daerah kekuasaannya dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah Mataram pada tahun 1812. Pengaruh Belanda mulai menyebar di kalangan istana dan mengancam kehidupan agama Islam. Sebagai salah seorang pemimpin negara dan pemuka agama, Pangeran Diponegoro tergerak untuk melakukan perlawanan.
a. Sebab-sebab umum
  • Rakyat menderita akibat pemerasan Belanda dengan menarik pajak.
  • Kaum bangsawan merasa dikurangi haknya, misalnya, tidak boleh menyewakan tanahnya.
  • Adanya campur tangan Belanda di istana, misalnya dalam pengangkatan sultan, mengubah tata cara istana, sajian sirih dihapus, dan orang Belanda duduk sejajar dengan sultan.

b. Sebab-sebab khusus
Pembuatan jalan melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro tanpa seizin di Tegalrejo dianggap merupakan penghinaan sehingga Pangeran Diponegoro mengangkat senjata pada tanggal 20 Juli 1825.

c. Jalannya perang
Pembantu-pembantu Pangeran Diponegoro adalah Kiai Mojo, Sentot Ali Basa Prawirodirjo, dan Pangeran Mangkubumi. Pusat pergerakan ialah di Selarong. Sistem yang dipergunakannya adalah perang gerilya dan perang sabil.

Pangeran Diponegoro juga dianggap penyelamat negara dan seorang pemimpin yang besar sehingga mendapat julukan "Sultan Abdul Hamid Erucokro Amirulmukmin Syayidin Panotogomo Kalifatulah Tanah Jawa". Pada saat itu, Belanda dipimpin Jenderal De Kock yang mempergunakan cara:
  • siasat Benteng Stelsel, di setiap daerah yang dikuasai didirikan benteng yang mempersempit gerilya Pangeran Diponegoro sehingga pasukannya terpecah-pecah;
  • mengangkat kembali Sultan Sepuh agar tidak dibenci oleh rakyat Mataram;
  • mempergunakan politik devide et impera.

Melihat sistem Belanda yang cukup berbahaya ini, Pangeran Diponegoro memindahkan markasnya ke Plered, Dekso, dan Pangasih. Daerah Pacitan dan Purwodadi juga berhasil dipertahankan. Serdadu Belanda terus digempur oleh pasukan Diponegoro sehingga 2.000 orang tentara Belanda tewas. Pada tahun 1828 – 1830 Pangeran Diponegoro menghadapi kesulitan-kesulitan berikut.
  • Tahun 1838 Kiai Mojo mengadakan perundingan dengan Belanda di Mangi, tetapi gagal. Kiai Mojo ditangkap dan diasingkan ke Minahasa dan tahun 1849 wafat lalu dimakamkan di Tondano.
  • Tahun 1839 Pangeran Mangkubumi menyerah karena sudah tua.
  • Tahun 1829 Sentot Prawirodirjo mengadakan perundingan dengan Belanda. Ia bersedia menyerah, asalkan menjadi pemimpin pasukan.
  • Tahun 1830 Pangeran Dipokusumo menyerahkan putra Pangeran Diponegoro.

Kenyataan tersebut tidak melemahkan Pangeran Diponegoro. Ia terus berjuang, bahkan Belanda sampai mengeluarkan sayembara: Apabila ada yang berhasil menyerahkan Pangeran Diponegoro akan mendapat uang 20.000 ringgit. Namun, tidak ada yang bersedia.

Akhirnya Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830 dan dibawa ke Batavia dengan kapal "Pollaz", terus diasingkan ke Manado. Pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar dan akhirnya wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Perang Diponegoro yang panjang membawa akibat sebagai berikut.
  • Wilayah Mataram Yogyakarta dan Surakarta menjadi sempit, PB VI yang ikut melawan Belanda akhirnya dibunuh di Ambon (1830).
  • Belanda memperoleh daerah Surakarta – Yogyakarta sebagai daerah yang diperas kekayaannya.
  • Adanya sebagian cukai yang dihapus untuk mengurangi kerusuhan.

4. Perlawanan Aceh (1873 – 1904)

Perang Aceh meletus pada tahun 1873 ketika terjadi pertentangan kepentingan politik dan ekonomi antara Kesultanan Aceh dan pemerintah kolonial Belanda. Belanda sudah memiliki keinginan untuk menguasai Aceh sejak tahun 1824, saat itu Aceh terkenal sebagai penghasil separuh persediaan lada di dunia. Kesempatan diperoleh ketika Inggris membiarkan Belanda menguasai Aceh daripada jatuh ke tangan Amerika Serikat atau Prancis.

a. Sebab-sebab umum
  • Belanda melaksanakan Pax Nederlandica.
  • Aceh merupakan daerah yang strategis bagi pelayaran dan perdagangan yang menolak campur tangan Belanda.
  • Inggris tidak akan menghalangi jika Belanda memperluas daerah ke Sumatra.

b. Sebab khusus
Aceh menolak terhadap penguasaan Belanda atas Sumatra, walaupun secara sepihak Belanda telah mengeluarkan Traktat Sumatra (1871) (yang memberi hak Belanda dapat berkuasa di Sumatra). Untuk menghadapinya, Aceh bersahabat dengan Turki dan Amerika Serikat.

Di Aceh terdapat dua kelompok pemimpin rakyat.
  • Golongan bangsawan yang berjiwa nasionalis (golongan teuku): Teuku Umar, Dawotsyah, Panglima Polim, Muda Bae'et, dan Teuku Leungbata.
  • Golongan ulama (golongan tengku) dipimpin Tengku Tjik Di Tiro.

c. Jalannya perang
1) Masa permulaan (1873 – 1884)
Belanda menyerang di bawah Kohler, tetapi Kohler sendiri tewas sehingga Belanda menarik pasukannya. Pimpinan pasukan diganti oleh Van Swietten yang berusaha membentuk pasukan jalan kaki (infateri), pasukan berkuda (kavaleri), dan pembangunan militer (genie). Semangat rakyat Aceh tidak kendor, bahkan Jenderal Van der Heyden tertembak sehingga buta (jenderal buta).

2) Masa konsentrasi stelsel (1884 – 1896)
Pada masa ini, Tengku Tjik Di Tiro gugur. Karena itu, Teuku Umar mengubah cara dengan berpura-pura menyerah kepada Belanda (tahun 1893). Belanda memberi penghargaan berupa uang $18.000, 800 senjata, 250 tentara, dan Teuku Umar diberi gelar Teuku Johan Pahlawan. Hal itu hanya merupakan siasat saja, Teuku Umar kembali menyerang Belanda bersama istrinya Tjoet Nja'Dien. Belanda merasa sulit menundukkan Aceh sehingga memanggil Dr. C. Snouck Hurgronje untuk meneliti budaya Aceh. Tersusunlah buku yang berjudul De Atjeher.

3) Masa akhir perlawanan (1896 – 1904)
Pada tahun 1899 di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Perjuangannya dilanjutkan Tjoet Nja' Dien yang terus bergerilya. Karena Aceh sudah tidak berdaya, Belanda mengeluarkan Plakat Pendek yang isinya:
  • Aceh mengakui kedaulatan Belanda di Sumatra,
  • Aceh tidak akan berhubungan dengan negara asing, dan
  • Aceh akan menaati perintah Belanda.

5. Perlawanan Sisingamangaraja XII dari Tapanuli (1878 – 1907)

Sisingamangaraja XII melawan Belanda di daerah Tapanuli di tepi Danau Toba. Penyebab perlawanan ini adalah daerah Batak diperkecil oleh Belanda. Belanda melaksanakan Pax Nederlandica. Tahun 1878 Sisingamangaraja XII menyerang Belanda di Tarutung (tahun 1894). Belanda menyerang dan membakar daerah pusat kerajaan Tapanuli (1907). Sisingamangaraja XII gugur bersama putra-putrinya sehingga berakhirlah perjuangannya.

6. Perlawanan Banjar oleh Pangeran Antasari (1859 – 1863)

Pertempuran ini terjadi karena Belanda banyak campur tangan di istana, banyak perkebunan yang dikuasai Belanda, Belanda berusaha menguasai Kalimantan, dan disingkirkannya pewaris takhta, Pangeran Hidayatullah, membawa kemarahan rakyat yang terus berusaha melawan Belanda di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Namun perlawanan ini tidak berlangsung lama, perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Muhamad Seman.

7. Perlawanan Patih Jelantik dari Bali

Patih Jelantik adalah patih Kerajaan Buleleng yang melawan Belanda. Sebab-sebab perlawanan sebagai berikut:
  • Hukum tawan karang adalah hak Raja Bali yang akan dihapus Belanda.
  • Raja harus melindungi perdagangan Belanda di Bali.
  • Belanda diizinkan mengibarkan bendera di Bali.

Adanya aturan-aturan yang ditetapkan Belanda tersebut membuat Raja Bali merasa diinjak-injak kekuasaannya oleh Belanda. Maka, dikobarkanlah perang anti-Belanda. Jalannya perang sebagai berikut.
a. Perang Buleleng 1846
Ini terjadi karena Raja Buleleng merampas kapal Belanda sehingga terjadi pertempuran dan Buleleng jatuh ke tangan Belanda. Kemudian raja menyingkir ke benteng Jagaraga bersama Patih Jelantik.

b. Perang Jagaraga 1848
Dalam pertempuran ini, Patih Jelantik bertahan di benteng tersebut. Tetapi, akhirnya ada salah satu bagian yang berhasil dikuasai Belanda, namun Patih Jelantik tetap bertahan.

c. Perang Jagaraga II
Belanda dipimpin Michiels menyerang Kerajaan Klungkung. Jembrana, dan Buleleng sehingga benteng Jagaraga berhasil direbut Belanda. Para raja lari ke daerah selatan. Raja Karangasem dan Raja Buleleng akhirnya mengobarkan perang puputan. Kerajaan Tabanan mengadakan pertempuran tahun 1906 yang disebut Balikan Wongaya. Akhirnya, Bali dikuasai Belanda.

Sumber: bse.kemdikbud.go.id

Perkembangan Masyarakat Indonesia pada Masa Kolonial
MARKIJAR: MARi KIta belaJAR

2 komentar untuk "Perkembangan Masyarakat Indonesia pada Masa Kolonial"

  1. sangat lengkap postingannya.. semoga saling melengkapi
    terima kasih

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas artikelnya,ini sangat membantu saya dalam pembelajaran disekolah tentang sejarah Indonesia

    BalasHapus