Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia (1/2)

Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia

Masuknya agama Hindu-Buddha ke Indonesia membawa dampak di bidang politik, yaitu lahirnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha dan berkurangnya peran kepala suku dalam mengatur kehidupan politik.

A. Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia

1. Kerajaan Kutai

a. Letak kerajaan
Kerajaan Kutai berdiri pada abad ke-5 M di Lembah Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Nama Kutai diambil dari nama daerah tempat ditemukannya prasasti Kutai. Wujud prasastinya berupa tujuh buah tugu batu besar yang disebut yupa. Ketujuh yupa ini merupakan sumber sejarah Kutai. Fungsi yupa sesungguhnya adalah tugu batu untuk menambatkan lembu kurban. Aksara yang dipahatkan pada yupa berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh penguasa Kutai bernama Mulawarman. Mulawarman adalah orang Indonesia asli. Kakeknya, Kudungga, masih menggunakan nama asli Indonesia.

b. Sumber sejarah
Prasasti Kutai menyebutkan silsilah raja-raja Kutai dengan raja terbesarnya adalah Mulawarman. Bunyi prasasti tersebut sebagai berikut. "Sang Maharaja Kudungga yang amat mulia, mempunyai putra mahsyur, Sang Aswawarman namanya, yang seperti Ansuman (dewa matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman mempunyai putra tiga, seperti Api (yang suci) tiga. Yang terkemuka dari ketiga putra ialah Sang Mulawarman raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan) emas amat banyak. Buat peringatan kenduri itulah tugu batu didirikan oleh para brahmana."

c. Kehidupan agama
Berdasarkan silsilahnya, dapat dipastikan bahwa Kudungga belum menganut Hindu dan masih mempertahankan budaya asli Indonesia. Adapun Aswawarman telah mulai mengenal Hindu, dapat dilihat dari namanya. Ia dianggap sebagai Wamsakarta (pendiri keluarga raja). Budaya Hindu ini diperoleh dari India. Pada zaman Aswawarman dikenal upacara Vratyastoma, yaitu upacara pencucian diri (pemberian kasta) yang diadakan setiap kali ada orang Indonesia masuk agama Hindu. Pentingnya pengaruh brahmana di Kutai menunjukkan dominasi pengaruh agama Syiwa yang tampak dalam upacara kurban.

d. Kehidupan ekonomi dan sosial
Tidak banyak yang kita ketahui tentang kehidupan ekonomi masyarakat Kutai, namun dari banyaknya persembahan yang diberikan raja dapat disimpulkan bahwa ekonomi negara Kutai cukup baik. Hal ini ditunjang letaknya di tepi sungai dan kemampuan dagang serta pelayaran.

Kondisi sosial masyarakat Kutai pada abad ke-5 sudah teratur dan telah berbentuk sebuah kerajaan besar. Ini mengubah kebiasaan berorganisasi masyarakat pada saat itu yang semula bersifat kesukuan menjadi kerajaan. Artinya, kehidupan sosial masyarakat Kutai sudah berkembang dan dinamis.

2. Kerajaan Tarumanegara

a. Letak kerajaan
Berdasarkan catatan dalam berbagai prasasti, Kerajaan Tarumanegara berdiri di Jawa Barat pada akhir abad ke-5. Wilayah Tarumanegara meliputi hampir seluruh Jawa Barat, tepatnya dari sekitar Banten – Jakarta sampai Cirebon.

b. Sumber sejarah
Sumber-sumber sejarah yang membuktikan keberadaan Kerajaan Tarumanegara sebagai berikut.
1) Berita dari bangsa asing
Banyak berita dari bangsa asing yang mengungkap adanya Kerajaan Tarumanegara. Salah satu berita dari Claudius Ptolomeus. Dalam bukunya Geography, ahli ilmu bumi Yunani Kuno ini menyebutkan bahwa di Timur Jauh ada sebuah kota bernama Argyre yang terletak di ujung Pulau Iabadium (Jawadwipa = Pulau Jelai = Pulau Jawa). Kata Argyre berarti perak, diduga yang dimaksud adalah Merak yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa.

Kabar lainnya datang dari Gunawarman, seorang pendeta dari Kashmir yang mengatakan bahwa agama yang dianut rakyat Taruma adalah Hindu. Berita dari Cina yang dibawa Fa Hsien dalam perjalanannya kembali ke Cina dari India menyebutkan bahwa rakyat di Ye-Po-Ti (Jawa = Taruma) sebagian besar beragama Hindu, sebagian kecil beragama Buddha dan Kitters (penyembah berhala). Adapun berita dari Soui (Cina) menyebutkan bahwa pada tahun 528 dan 535 datang utusan dari Tolomo (Taruma) ke Cina.

2) Berita dari prasasti
Ada tujuh buah prasasti yang menjadi sumber sejarah keberadaan Tarumanegara.
  • Prasasti Ciaruteun (Ciampea, Bogor)
  • Prasasti Pasir Kaleangkak
  • Prasasti Kebon Kopi
  • Prasasti Tugu
  • Prasasti Pasir Awi
  • Prasasti Muara Cianten
  • Prasasti Cidangiang (Lebak)

Konsep dan Aktualita
Isi prasasti Tugu adalah yang terpanjang di antara semua peninggalan Purnawarman. Bunyinya: "Dahulu kali yang bernama Kali Chandrabhaga (= Kali Bekasi) digali oleh Maharaja Yang Mulia yang mempunyai lengan yang kencang dan kuat, yakni Raja Purnawarman. Setelah melewati istana baginda yang masyhur, kali itu dialirkan ke laut. Kemudian, di dalam tahun ke-22 dari takhta baginda, Raja Purnawarman yang berkilau karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji segala raja, memerintahkan pula menggali kali yang indah serta jernih airnya. Kali Gomati namanya. Kali ini mengalir di tengah-tengah kediaman Sang Pendeta Nenekda Sang Purnawarman. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, yakni pada tanggal 8 paro peteng bulan Phalguna dan diakhiri pada hari tanggal 13 paro terang bulan Caitra. Galian itu panjangnya 6.122 tumbak. Untuk itu, diadakan selamatan yang dilaksanakan oleh para brahmana. Untuk selamatan itu, Raja Purnawarman mendharmakan seribu ekor sapi".

Dari prasasti ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
  • Purnawarman memerhatikan kemakmuran rakyatnya.
  • Kerajaan Tarumanegara bersifat agraris dan sudah memiliki sistem irigasi.
  • Masyarakatnya hidup teratur dengan gotong royong.
  • Agama yang dianut adalah Hindu, terbukti dari hewan yang digunakan untuk kurban adalah lembu.

c. Runtuhnya Tarumanegara
Pada akhir abad ke-7, Tarumanegara tidak terdengar lagi kabar beritanya. Ada kemungkinan kerajaan ini ditaklukkan oleh Sriwijaya. Kemungkinan ini dapat kita ketahui dari sumber-sumber sejarah berikut.
  • Dalam prasasti Kota Kapur disebutkan bahwa pada tahun 686, Sriwijaya menghukum bumi Jawa karena tidak taat kepada Sriwijaya.
  • Sejak abad ke-7, Kerajaan Cina tidak pernah menyebut lagi adanya utusan yang datang dari dan ke Tarumanegara.

3. Kerajaan Holing

Suatu berita dari Cina pada masa dinasti Tang menyebutkan bahwa di Jawa ada suatu kerajaan yang bernama Holing atau Kaling, tepatnya di daerah Jawa Tengah dekat Jepara sekarang. Kerajaan ini menghasilkan penyu, emas, perak, cula, gading, dan orangorangnya pandai membuat minuman dari kelapa. Berita ini disampaikan oleh I-Tsing. Ia mengatakan bahwa pada tahun 664, pendeta Hwining dan pembantunya Yunki pergi ke Holing untuk mempelajari agama Buddha. Ia juga menerjemahkan kitab suci agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Cina dibantu pendeta Janabhadra dari Holing. Kitab terjemahan Hwining tersebut adalah bagian terakhir dari kitab Varinirvana yang mengisahkan tentang pembukaan jenazah Sang Buddha.

Kerajaan Holing diperintah oleh seorang raja wanita yang bernama Ratu Sima sejak tahun 674. Ia memerintah dengan keras dan menghendaki agar kejujuran dijunjung tinggi. Bahkan putranya sendiri dihukum potong kaki karena dituduh mencuri. Kota Kerajaan Holing dikelilingi pagar kayu. Ratunya hidup dalam istana yang bertingkat, atapnya dibuat dari daun rumbia. Singgasananya terbuat dari gading.

4. Kerajaan Kanjuruhan

Kerajaan Kanjuruhan merupakan kerajaan tertua di Jawa Timur. Berdiri sekitar tahun 760. Keberadaan kerajaan ini dapat diketahui dari prasasti Dinoyo yang ditemukan di desa Dinoyo, barat laut Malang. Isi prasasti itu adalah kisah pendirian sebuah bangunan suci untuk pemujaan Dewa Agastya. Pendirinya adalah Raja Gajayana, putra Dewasimha. Raja ini mempunyai putri bernama Uttejana. Prasasti Dinoyo ditulis dengan huruf Jawa Kuno dan menggunakan bahasa Sanskerta. Bangunan suci yang disebutkan dalam prasasti tersebut sekarang dikenal sebagai candi Badut.

5. Kerajaan Melayu

Kerajaan Melayu adalah salah satu kerajaan tertua di Sumatra. Menurut berita Cina, ketika I-Tsing akan pergi ke India, selain singgah di Jawa ia juga singgah di Sumatra. Salah satunya adalah di Kerajaan Melayu. Namun, ketika pada tahun 692 ia kembali dari India dan singgah di Sumatra, Kerajaan Melayu telah ditaklukkan oleh Sriwijaya. Berita lain dari Cina menyebutkan bahwa pada tahun 644 datang utusan dari negeri Mo-lo-yeu ke Cina untuk membawa hasil bumi sebagai persembahan dan perkenalan.

Bukti lain keberadaan Kerajaan Melayu adalah kitab Negarakertagama dan Pararaton yang menyebutkan bahwa Raja Kertanegara (Singasari) mengirim pasukan tentaranya ke Melayu dalam Ekspedisi Melayu untuk mempererat persahabatan Singasari – Melayu dalam rangka menghadapi ancaman Cina yang saat itu dipimpin Kubhilai Khan. Dalam ekspedisi itu Raja Kertanegara mempersembahkan arca Buddha Amogapasa yang kemudian ditempatkan di Dharmasraya. Pemberian ini membuat Raja Melayu, Sri Manliwarmadewa sangat senang.

Kerajaan Melayu sempat hilang dari pemberitaan dan baru muncul kembali sebagai kerajaan merdeka di masa pemerintahan Raja Adityawarman pada abad ke-14. Adityawarman adalah keturunan keluarga Majapahit yang sebelum menjadi raja di Melayu sempat menjabat sebagai Wredha Menteri (Menteri Tua) pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi. Sebagai raja, ia bergelar Aryadewa Rajapu Aditya. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Melayu mencapai kejayaan. Kekuasaannya sampai di Pagarruyung, Sumatra Barat, dan ibu kotanya dipindahkan ke Minangkabau sekarang. Salah satu peninggalannya adalah candi Muara Takus. Candi ini bercorak Buddha sebab Adityawarman adalah seorang penganut Buddha.

6. Kerajaan Tulangbawang

I-Tsing dalam beritanya juga menyebutkan adanya Kerajaan To-lang-po-hwang (Tulangbawang). Tidak ditemukan adanya bukti-bukti lain mengenai kerajaan ini, namun diyakini bahwa kerajaan ini terletak di daerah Lampung sekarang. Keberadaan kerajaan ini terdengar pada tahun 700 M. Keturunan masyarakat kerajaan ini adalah orang-orang suku Lampung yang menempati daerah sekitar Sungai Tulangbawang.

7. Kerajaan Sriwijaya

Info lebih lengkap tentang Kerajaan Sriwijaya: Kerajaan Sriwijaya
a. Letak kerajaan
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Buddha yang berdiri di Sumatra pada abad ke-7. Pendirinya adalah Dapunta Hyang. Kerajaan ini pernah menjadi kerajaan terbesar di Nusantara, bahkan mendapat sebutan Kerajaan Nasional I sebab pengaruh kekuasaannya mencakup hampir seluruh Nusantara dan negara-negara di sekitarnya. Letaknya sangat strategis. Wilayahnya meliputi tepian Sungai Musi di Sumatra Selatan sampai ke Selat Malaka (merupakan jalur perdagangan India – Cina pada saat itu), Selat Sunda, Selat Bangka, Jambi, dan Semenanjung Malaka.

b. Sumber-sumber sejarah
1) Berita dari Cina
Dalam perjalanannya untuk menimba ilmu agama Buddha di India, I-Tsing pendeta dari Cina, singgah di Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam bulan dan mempelajari paramasastra atau tata bahasa Sanskerta. Kemudian, bersama guru Buddhis, Sakyakirti, ia menyalin kitab Hastadandasastra ke dalam bahasa Cina. Kesimpulan I-Tsing mengenai Sriwijaya adalah negara ini telah maju dalam bidang agama Buddha. Pelayarannya maju karena kapal-kapal India singgah di sana dan ditutupnya Jalan Sutra oleh bangsa Han. Buddhisme di Sriwijaya dipengaruhi Tantraisme, namun disiarkan pula aliran Buddha Mahayana. I-Tsing juga menyebutkan bahwa Sriwijaya telah menaklukkan daerah Kedah di pantai barat Melayu pada tahun 682 – 685.

Berita Cina dari dinasti Tang menyebutkan bahwa Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) adalah kerajaan Buddhis yang terletak di Laut Selatan. Adapun berita sumber dari dinasti Sung menyebutkan bahwa utusan Cina sering datang ke San-fo-tsi. Diyakini bahwa yang disebut San-fo-tsi itu adalah Sriwijaya.

2) Berita dari Arab
Berita Arab menyebutkan adanya negara Zabag (Sriwijaya). Ibu Hordadheh mengatakan bahwa Raja Zabag banyak menghasilkan emas. Setiap tahunnya emas yang dihasilkan seberat 206 kg. Berita lain disebutkan oleh Alberuni. Ia mengatakan bahwa Zabag lebih dekat dengan Cina daripada India. Negara ini terletak di daerah yang disebut Swarnadwipa (Pulau Emas) karena banyak menghasilkan emas.

3) Berita dari India
Prasasti Leiden Besar yang ditemukan oleh raja-raja dari dinasti Cola menyebutkan adanya pemberian tanah Anaimangalam kepada biara di Nagipatma. Biara tersebut dibuat oleh Marawijayattunggawarman, keturunan keluarga Syailendra yang berkuasa di Sriwijaya dan Kataka.

Prasasti Nalanda menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa dari Nalanda, India, telah membebaskan lima buah desa dari pajak. Sebagai imbalannya, kelima desa itu wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Hal ini merupakan wujud penghargaan sebab Raja Sriwijaya saat itu, Balaputradewa, mendirikan vihara di Nalanda. Selain itu, prasasti Nalanda juga menyebutkan bahwa Raja Balaputradewa sebagai raja terakhir dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa meminta kepada Raja Nalanda untuk mengakui hak-haknya atas dinasti Syailendra.

4) Berita dari dalam negeri
Sumber-sumber sejarah dalam negeri mengenai Sriwijaya adalah prasasti- prasasti berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.
  • Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 Saka (683 M) ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang.
  • Prasasti Talang Tuo berangka tahun 606 Saka (684 M) ditemukan di sebelah barat Pelembang.
  • Prasasti Kota Kapur berangka tahun 608 Saka (686 M) ditemukan di Bangka. Prasasti ini menjadi bukti serangan Sriwijaya terhadap Tarumanegara yang membawa keruntuhan kerajaan tersebut, terlihat dari bunyi: "Menghukum bumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya."
  • Prasasti Karang Berahi berangka tahun 608 Saka (686 M). Isi prasasti ini memperjelas bahwa secara politik, Sriwijaya bukanlah negara kecil, melainkan memiliki wilayah yang luas dan kekuasaannya yang besar. Prasasti ini juga memuat penaklukan Jambi.
  • Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun). Prasasti ini menyebutkan bahwa negara Sriwijaya berbentuk kesatuan dan menegaskan kedudukan putra-putra raja: Yuwaraja (putra mahkota), Pratiyuwaraja (putra mahkota kedua), dan Rajakumara (tidak berhak menjadi raja).
  • Prasasti Ligor berangkat tahun 697 Saka (775 M) ditemukan di Tanah Genting Kra. Prasasti ini memuat kisah penaklukan Pulau Bangka dan Tanah Genting Kra (Melayu) oleh Sriwijaya
  • Prasasti Palas Pasemah (tidak berangka tahun) ditemukan di Lampung berisi penaklukan Sriwijaya terhadap Kerajaan Tulangbawang pada abad ke-7.

Dari sumber-sumber sejarah tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, pendiri Kerajaan Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanegara yang berkedudukan di Minangatwan. Kedua, Raja Dapunta Hyang berusaha memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan wilayah di sekitar Jambi. Ketiga, Sriwijaya semula tidak berada di sekitar Pelembang, melainkan di Minangatwan, yaitu daerah pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. Setelah berhasil menaklukkan Palembang, barulah pusat kerajaan dipindah dari Minangatwan ke Palembang.

c. Kehidupan politik
Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan besar dan masyhur. Selain mendapat julukan sebagai Kerajaan Nasional I, Sriwijaya juga mendapat julukan Kerajaan Maritim disebabkan armada lautnya yang kuat. Raja-rajanya yang terkenal adalah Dapunta Hyang (pendiri Sriwijaya) Balaputradewa, dan Sanggrama Wijayatunggawarman. Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang berhasil memperluas wilayah Kerajaan Sriwijaya dari Minangatwan sampai Jambi.

Pemerintahan Raja Balaputradewa berhasil mengantarkan Sriwijaya menjadi kerajaan yang besar dan mencapai masa kejayaan. Balaputradewa adalah putra Raja Syailendra, Samaratungga, yang karena dimusuhi saudarinya, Pramodhawardhani (istri Raja Pikatan dari wangsa Sanjaya), terpaksa melarikan diri ke Sriwijaya. Saat itu, Sriwijaya diperintah oleh Raja Dharmasetu, kakek dari ibunda Balaputradewa. Raja ini tidak berputra sehingga kedatangan Balaputradewa disambut dengan baik, bahkan diserahi takhta dan diangkat menjadi raja di Sriwijaya. Dalam masa pemerintahannya, Sriwijaya mengadakan hubungan dengan Nalanda dalam bidang pengembangan agama Buddha.

Pada masa pemerintahan Sanggrama Wijayattunggawarman, Sriwijaya mendapat serangan dari Kerajaan Colamandala. Sang Raja ditawan dan baru dilepaskan ketika Colamandala diperintah Raja Kolottungga I.

d. Kehidupan ekonomi
Letak Sriwijaya sangat strategis, yakni di tengah jalur perdagangan India – Cina, dekat Selat Malaka yang merupakan urat nadi perhubungan daerahdaerah di Asia Tenggara. Menurut Coedes, setelah Kerajaan Funan runtuh, Sriwijaya berusaha menguasai wilayahnya agar dapat memperluas kawasan perdagangannya. Untuk mengawasi kelancaran perdagangan dan pelayarannya, Sriwijaya menguasai daerah Semenanjung Malaya, tepatnya di daerah Ligor. Adanya hubungan perdagangan dengan Benggala dan Colamandala di India, lalu lintas perdagangan Sriwijaya makin ramai. Ekspor Sriwijaya terdiri atas gading, kulit, dan beberapa jenis binatang. Adapun impornya adalah sutra, permadani, dan porselin.

e. Hubungan Sriwijaya dengan lndia
Di daerah Benggala, di India, ada sebuah kerajaan bernama Nalanda yang diperintah oleh dinasti Pala. Kerajaan ini berdiri sejak abad ke-8 hingga pada abad ke11. Rajanya yang terbesar adalah raja Dewa Pala. Hubungan Sriwijaya dengan kerajaan ini sangat baik, terutama dalam bidang kebudayaan, khususnya dalam pengembangan agama Buddha. Banyak bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya yang belajar agama Buddha di perguruan tinggi Nalanda.

f. Hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan Colamandala
Hubungan kedua kerajaan ini pada awalnya sangat baik. Diawali dengan hubungan dalam bidang agama kemudian meningkat ke bidang ekonomi perdagangan. Pada tahun 1006, Raja Sriwijaya bernama Sanggrama Wijayattunggawarman mendirikan biara di Colamandala untuk tempat tinggal para bhiksu dari Sriwijaya. Akibat adanya persaingan dalam pelayaran dan perdagangan, persahabatan kedua kerajaan itu berubah menjadi permusuhan. Raja Rajendra Cola menyerang Sriwijaya sampai dua kali. Serangan pertama pada tahun 1007 gagal. Serangan kedua pada tahun 1023/1024 berhasil merebut kota dan bandar dagang Sriwijaya. Raja Sanggrama Wijayattunggawarman berhasil ditawan dan baru dibebaskan pada zaman Raja Kulottungga I.

g. Kemunduran Sriwijaya
Pada akhir abad ke-13, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
  • Faktor geologis, yaitu adanya pelumpuran Sungai Musi sehingga para pedagang tidak singgah lagi di Sriwijaya.
  • Faktor politis, yaitu jatuhnya Tanah Genting Kra ke tangan Siam membuat pertahanan Sriwijaya di sisi utara melemah dan perdagangan mengalami kemunduran. Di sisi timur, kerajaan ini terdesak oleh Kerajaan Singasari yang dipimpin Kertanegara. Akibat dari serangan ini, Melayu, Kalimantan, dan Pahang lepas dari tangan Sriwijaya. Desakan lain datang dari Kerajaan Colamandala dan Sriwijaya akhirnya benar-benar hancur karena diserang Majapahit.
  • Faktor ekonomi, yaitu menurunnya pendapatan Sriwijaya akibat lepasnya daerahdaerah strategis untuk perdagangan ke tangan kerajaan-kerajaan lain.

8. Kerajaan Mataram Kuno 

Info lebih lengkap tentang Kerajaan Mataram Kuno: Kerajaan Mataram Kuno
a. Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno
Pada abad ke-8 di pedalaman Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram Hindu. Pendirinya adalah Raja Sanjaya. Munculnya Kerajaan Mataram diterangkan dalam Carita Parahyangan. Kisahnya adalah dahulu ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama Galuh. Rajanya bernama Sanna (Sena). Suatu ketika, ia diserang oleh saudaranya yang menghendaki takhta. Raja Sanna meninggal dalam peristiwa tersebut, sementara saudara perempuannya, Sannaha, bersama keluarga raja yang lainnya berhasil melarikan diri ke lereng Gunung Merapi. Anak Sannaha, Sanjaya, di kemudian hari mendirikan Kerajaan Mataram dengan ibu kota Medang ri Poh Pitu. Tepatnya pada tahun 717 M.

b. Bukti-bukti sejarah
Bukti lain mengenai keberadaan Kerajaan Mataram Hindu atau sering juga disebut Mataram Kuno adalah prasasti Canggal yang dikeluarkan oleh Sanjaya. Prasasti ini berangka tahun Cruti Indria Rasa atau 654 Saka (1 Saka sama dengan 78 Masehi, berarti 654 Saka sama dengan 732 M), hurufnya Pallawa, bahasanya Sanskerta, dan letaknya di Gunung Wukir, sebelah selatan Muntilan. Isinya adalah pada tahun tersebut Sanjaya mendirikan lingga di Bukit Stirangga untuk keselamatan rakyatnya dan pemujaan terhadap Syiwa, Brahma, dan Wisnu, di daerah suci Kunjarakunja. Menurut para ahli sejarah, yang dimaksud Bukit Stirangga adalah Gunung Wukir dan yang dimaksud Kunjarakunja adalah Sleman (kunjara = gajah = leman; kunja = hutan). Lingga adalah simbol yang menggambarkan kekuasaan, kekuatan, pemerintahan, lakilaki, dan dewa Syiwa.

c. Pemerintahan wangsa Sanjaya
Raja-raja wangsa Sanjaya, seperti dimuat dalam prasasti Mantyasih (Kedu), sebagai berikut.
  • Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717 – 746 M)
    Raja ini adalah pendiri Kerajaan Mataram sekaligus pendiri wangsa Sanjaya. Setelah wafat, ia digantikan oleh Rakai Panangkaran.

  • Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746 – 784 M)
    Dalam prasasti Kalasan (778 M) diceritakan bahwa Rakai Panangkaran (yang dipersamakan dengan Panamkaran Pancapana) mendirikan candi Kalasan untuk memuja Dewi Tara, istri Bodhisatwa Gautama, dan candi Sari untuk dijadikan wihara bagi umat Buddha atas permintaan Raja Wisnu dari dinasti Syailendra. Ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan raja ini datanglah dinasti Syailendra dipimpin rajanya, Bhanu (yang kemudian digantikan Wisnu), dan menyerang wangsa Sanjaya hingga melarikan diri ke Dieng, Wonosobo. Selain itu, Raja Panangkaran juga dipaksa mengubah kepercayaannya dari Hindu ke Buddha. Adapun penerus wangsa Sanjaya setelah Panangkaran tetap beragama Hindu.

  • Sri Maharaja Rakai Panunggalan (784 – 803 M)

  • Sri Maharaja Rakai Warak (803 – 827 M)
    Dua raja ini tidak memiliki peran yang berarti, mungkin karena kurang cakap dalam memerintah sehingga dimanfaatkan oleh dinasti Syailendra untuk berkuasa atas Mataram. Setelah Raja Warak turun takhta sebenarnya sempat digantikan seorang raja wanita, yaitu Dyah Gula (827 – 828 M), namun karena kedudukannya hanya bersifat sementara maka jarang ada sumber sejarah yang mengungkap peranannya atas Mataram Hindu.

  • Sri Maharaja Rakai Garung (828 – 847 M)
    Raja ini beristana di Dieng, Wonosobo. Ia mengeluarkan prasasti Pengging (819 M) di mana nama Garung disamakan dengan Patapan Puplar (mengenai Patapan Puplar diceritakan dalam prasasti Karang Tengah – Gondosuli).

  • Sri Maharaja Rakai Pikatan (847 – 855 M)
    Raja Pikatan berusaha keras mengangkat kembali kejayaan wangsa Sanjaya dalam masa pemerintahannya. Ia menggunakan nama Kumbhayoni dan Jatiningrat (Agastya). Beberapa sumber sejarah yang menyebutkan nama Pikatan sebagai berikut:
    a) Prasasti Perot, berangka tahun 850 M, menyebutkan bahwa Pikatan adalah raja yang sebelumnya bergelar Patapan.
    b) Prasasti Argopuro yang dikeluarkan Kayuwangi pada tahun 864 M.
    c) Tulisan pada sebelah kanan dan kiri pintu masuk candi Plaosan menyebutkan nama Sri Maharaja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. Diduga tulisan tersebut merupakan catatan perkawinan antara Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. Sri Kahulunan diduga adalah Pramodhawardhani, putri Samaratungga, dari dinasti Syailendra. Mengenai pernikahan mereka dikisahkan kembali dalam prasasti Karang Tengah.

    Rakai Pikatan sendiri mengeluarkan tiga prasasti berikut:
    d) Prasasti Pereng (862 M), isinya mengenai penghormatan kepada Syiwa dan penghormatan kepada Kumbhayoni.
    e) Prasasti Code D 28, berangka tahun Wulung Gunung Sang Wiku atau 778 Saka (856 M). Isinya adalah (1) Jatiningrat (Pikatan) menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Lokapala (Kayuwangi dalam prasasti Kedu); (2) Pikatan mendirikan bangunan Syiwalaya (candi Syiwa), yang dimaksud adalah candi Prambanan; (3) kisah peperangan antara Walaputra (Balaputradewa) melawan Jatiningrat (Pikatan) di mana Walaputra kalah dan lari ke Ungaran (Ratu Boko).
    f) Prasasti Ratu Boko, berisi kisah pendirian tiga lingga sebagai tanda kemenangan. Ketiga lingga yang dimaksud adalah Krttivasa Lingga (Syiwa sebagai petapa berpakaian kulit harimau), Tryambaka Lingga (Syiwa menghancurkan benteng Tripura yang dibuat raksasa), dan Hara Lingga (Syiwa sebagai dewa tertinggi atau paling berkuasa).

    Sebagai raja, Pikatan berusaha menguasai seluruh Jawa Tengah, namun harus menghadapi wangsa Syailendra yang saat itu menjadi penguasa Mataram Buddha. Untuk itu, Pikatan menggunakan taktik menikahi Pramodhawardhani, putri Samaratungga, Raja Mataram dari dinasti Syailendra. Pernikahan ini memicu peperangan dengan Balaputradewa yang merasa berhak atas tahta Mataram sebagai putra Samaratungga. Balaputradewa kalah dan Rakai Pikatan menyatukan kembali kekuasaan Mataram di Jawa Tengah.

  • Sri Maharaja Kayuwangi (855 – 885 M)
    Nama lain Sri Maharaja Kayuwangi adalah Lokapala. Ia mengeluarkan, antara lain, tiga prasasti berikut:
    a) Prasasti Ngabean (879 M), ditemukan dekat Magelang. Prasasti ini terbuat dari tembaga.
    b) Prasasti Surabaya, menyebutkan gelar Sajanotsawattungga untuk Kayuwangi.
    c) Prasasti Argopuro (863 M), menyebutkan Rakai Pikatan pu Manuku berdampingan dengan nama Kayuwangi.
    Dalam pemerintahannya, Kayuwangi dibantu oleh dewan penasihat merangkap staf pelaksana yang terdiri atas lima orang patih. Dewan penasihat ini diketuai seorang mahapatih.

  • Sri Maharaja Watuhumalang (894 – 898 M)
    Masa pemerintahan Kayuwangi dan penerus-penerusnya sampai masa pemerintahan Dyah Balitung dipenuhi peperangan perebutan kekuasaan. Itu sebabnya, setelah Kayuwangi turun takhta, penggantinya tidak ada yang bertahan lama. Di antara raja-raja yang memerintah antara masa Kayuwangi dan Dyah Balitung yang tercatat dalam prasasti Kedu adalah Sri Maharaja Watuhumalang. Raja-raja sebelumnya, yaitu Dyah Taguras (885 M), Dyah Derendra (885 – 887 M), dan Rakai Gurunwangi (887 M) tidak tercatat dalam prasasti tersebut mungkin karena masa pemerintahannya terlalu singkat atau karena Balitung sendiri tidak mau mengakui kekuasaan mereka.

  • Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung (898 – 913 M)
    Raja ini dikenal sebagai raja Mataram yang terbesar. Ialah yang berhasil mempersatukan kembali Mataram dan memperluas kekuasaan dari Jawa Tengah sampai ke Jawa Timur. Dyah Balitung menggunakan beberapa nama:
    a) Balitung Uttunggadewa (tercantum dalam prasasti Penampihan),
    b) Rakai Watukura Dyah Balitung (tercantum dalam kitab Negarakertagama),
    c) Dharmodaya Mahacambhu (tercantum dalam prasasti Kedu), dan
    d) Rakai Galuh atau Rakai Halu (tercantum dalam prasasti Surabaya).

    Prasasti-prasasti yang penting dari Balitung sebagai berikut.
    a) Prasasti Penampihan di Kediri (898 M). b) Prasasti Wonogiri (903 M).
    c) Prasasti Mantyasih di Kedu (907 M).
    d) Prasasti Djedung di Surabaya (910 M).

Sebenarnya, Balitung bukan pewaris takhta Kerajaan Mataram. Ia dapat naik takhta karena kegagahberaniannya dan karena perkawinannya dengan putri Raja Mataram. Selama masa pemerintahannya, Balitung sangat memerhatikan kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal mata pencaharian, yaitu bercocok tanam, sehingga rakyat sangat menghormatinya.

Tiga jabatan penting yang berlaku pada masa pemerintahan Balitung adalah Rakryan i Hino (pejabat tertinggi di bawah raja), Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan. Ketiga jabatan itu merupakan tritunggal dan terus dipakai hingga zaman Kerajaan Majapahit.

Balitung digantikan oleh Sri Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri Maharaja Tulodhong dan Sri Maharaja Wana. Namun, ketiga raja ini sangat lemah sehingga berakhirlah kekuasaan dinasti Sanjaya.

d. Pemerintahan dinasti Syailendra
Ketika Mataram diperintah oleh Panangkaran (wangsa Sanjaya), datanglah dinasti Syailendra ke Jawa. Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul dinasti Syailendra ini. Dr. Majumdar, Nilakanta Sastri, dan Ir. Moens berpendapat bahwa dinasti Syailendra berasal dari India. Adapun Coedes berpendapat bahwa dinasti Syailendra berasal dari Funan.

Dinasti ini lalu berhasil mendesak wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng, Wonosobo, di wilayah Jawa Tengah bagian utara. Di sanalah wangsa Sanjaya kemudian memerintah. Sementara itu, dinasti Syailendra mendirikan Kerajaan Syailendra (Mataram Buddha) di wilayah sekitar Yogyakarta dan menguasai Jawa Tengah bagian selatan.

Sumber-sumber sejarah mengenai keberadaan dinasti Syailendra sebagai berikut.
  • Prasasti Kalasan (778 M)
  • Prasasti Kelurak (782 M)
  • Prasasti Ratu Boko (856 M)
  • Prasasti Nalanda (860 M)

Raja-raja dinasti Syailendra sebagai berikut:
  • Bhanu (752 – 775 M)
    Bhanu berarti matahari. Ia adalah raja Syailendra yang pertama. Namanya disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di Plumpungan (752 M), dekat Salatiga.

  • Wisnu (775 – 782 M)
    Nama Wisnu disebutkan dalam beberapa prasasti.
    a) Prasasti Ligor B menyebutkan nama Wisnu yang dipersamakan dengan matahari, bulan, dan dewa Kama. Disebutkan pula gelar yang diberikan kepada Wisnu, yaitu Syailendravamsaprabhunigadata Sri Maharaja, artinya pembunuh musuh yang gagah berani.
    b) Prasasti Kalasan (778 M) menyebutkan desakan dinasti Syailendra terhadap Panangkaran.
    c) Prasasti Ratu Boko (778 M) menyebutkan nama Raja Dharmatunggasraya.

  • Indra (782 – 812 M)
    Raja Indra mengeluarkan prasasti Kelurak (782 M) yang menyebutkan pendirian patung Boddhisatwa Manjusri, yang mencakup Triratna (candi Lumbung), Vajradhatu (candi Sewu), dan Trimurti (candi Roro Jongrang). Setelah wafat, Raja Indra dimakamkan di candi Pawon. Nama lain candi ini adalah candi Brajanala atau Wrajanala. Wrajanala artinya petir yang menjadi senjata dewa Indra.

  • Samaratungga (812 – 832 M)
    Raja ini adalah raja terakhir keturunan Syailendra yang memerintah di Mataram. Ia mengeluarkan prasasti Karang Tengah yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824 M). Dalam prasasti tersebut disebutkan nama Samaratungga dan putrinya, Pramodhawardhani. Disebutkan pula mengenai pendirian bangunan Jimalaya (candi Prambanan) oleh Pramodhawardhani. Nama Samaratungga juga disebutkan dalam prasasti Nalanda (860 M) yang menceritakan pendirian biara di Nalanda pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa (Kerajaan Pala, India). Pada masa pemerintahannya, Samaratungga membangun candi Borobudur yang merupakan candi besar agama Buddha.

    Samaratungga kemudian digantikan oleh Rakai Pikatan, suami Pramodhawardhani yang berasal dari wangsa Sanjaya. Kembalilah kekuasaan wangsa Sanjaya atas Mataram Kuno sepenuhnya.

e. Kehidupan ekonomi
Kerajaan Mataram Kuno merupakan negara agraris yang bersifat tertutup. Akibatnya, kerajaan ini sulit berkembang secara ekonomi, terutama karena segi perdagangan dan pelayaran sangat kering. Kejayaan baru diperoleh pada masa pemerintahan Balitung. Ia membangun pusat perdagangan seperti disebutkan dalam prasasti Purworejo (900 M). Dalam prasasti Wonogiri (903 M) diterangkan bahwa desa-desa yang terletak di kanan-kiri Sungai Bengawan Solo dibebaskan dari pajak dengan syarat penduduk desa tersebut harus menjamin kelancaran hubungan lalu lintas melalui sungai.

f. Kehidupan kebudayaan
Ketika wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng sejak masa Panangkaran hingga Rakai Pikatan, banyak didirikan candi yang kini dikenal sebagai kompleks candi Dieng. Kompleks candi ini, antara lain, terdiri atas candi Bimo, Puntadewa, Arjuna, dan Nakula. Adapun di Jawa Tengah bagian selatan ditemukan candi Prambanan (Roro Jonggrang), Sambi Sari, Ratu Boko, dan Gedung Songo (Ungaran) sebagai hasil budaya Mataram Kuno.

9. Kerajaan Medang Mataram

a. Pusat pemerintahan
Pada masa pemerintahan Raja Wawa, diperkirakan ibu kota Mataram sempat dipindahkan ke Medang (925 M), tepatnya di sekitar daerah Purwodadi, Semarang. Kerajaan Mataram pada masa itu dikenal dengan sebutan Medang Kamulan, seperti tercantum dalam prasasti Canggal yang menyebut kata-kata Medang i bhumi Mataram. Raja Wawa kemudian digantikan oleh menantunya, Mpu Sindok, yang memindahkan seluruh Kerajaan Medang ke Jawa Timur dan menyebut kerajaannya dengan nama Medang Mataram. Ibu kota kerajaan ini terletak di Watan Mas, sekitar muara Sungai Brantas.

Alasan Mpu Sindok memindahkan Medang Mataram ke Jawa Timur adalah
  • untuk menghindari bahaya gunung berapi,
  • menjauhkan diri dari ancaman Sriwijaya, serta
  • tanah di Jawa Timur lebih subur untuk pertanian dan baik pula untuk perdagangan.

Dalam perkembangannya, wilayah Medang Mataram meliputi daerah Nganjuk sebelah barat, Pasuruan, Surabaya, dan Malang.

b. Sumber sejarah
Beberapa prasasti yang mengungkapkan keberadan Medang Mataram sebagai berikut.
  • Prasasti Tengaran (933 M) menyebutkan bahwa Mpu Sindok memerintah bersama istrinya, Sri Wardani Pu Kbin (Rakryan Bawang).
  • Prasasti Lor (939 M) dekat Nganjuk, berisi perintah membuat candi bernama Jayamrata dan Jayastambo di desa Anyok Lodang untuk memeringati kemenangan Mpu Sindok.
  • Prasasti Bangil berisi pembuatan candi untuk pemakaman ayahanda Mpu Sindok dan sang permaisuri, Rakryan Bawang.
  • Prasasti Kalkuta (1041) yang dikeluarkan Airlangga.

c. Perkembangan politik
Raja-raja yang terkenal dari Medang Mataram sebagai berikut.
  • Raja Mpu Sindok
    Raja ini bergelar Mpu Sindok Sri Isyanatunggadewa. Ia adalah pendiri dinasti Isyana. Sebagai pendiri dinasti, Mpu Sindok pulalah yang meletakkan dasar-dasar kerajaan di Jawa Timur. Setelah Mpu Sindok wafat, penggantinya tidak ada yang cukup mampu sehingga Medang Mataram mengalami masa suram.

  • Raja Dharmawangsa
    Semula raja ini sempat memajukan perekonomian Medang Mataram dengan menguasai beberapa daerah pantai milik Sriwijaya. Sempat juga menyerang Bali dan Sukadana (Kalimantan). Akan tetapi, pada tahun 1016 ketika tengah menikahkan putrinya dengan Airlangga, kerajaan ini diserang oleh Raja Wurawari dari Wengker. Dalam peristiwa yang disebut Pralaya Medang ini, Raja Dharmawangsa beserta beberapa kerabat istana wafat.

  • Raja Airlangga
    Ketika terjadi Pralaya Medang, Airlangga dan pengikut setianya, Narottama, berhasil lari dan bersembunyi di lereng Gunung Kelud. Setelah berhasil mengalahkan Raja Wurawari, Airlangga kembali ke Medang dan naik takhta menggantikan Dharmawangsa (1019). Gelarnya Sri Maharaja Rake Halu Lokeswaram Dharmawangsa Airlangga. Ia kemudian memindahkan ibu kota Medang Mataram ke Kahuripan pada tahun 1037.

    Airlangga mengeluarkan prasasti Kalkuta (1041) yang isinya:
    a) menguraikan silsilah Airlangga (Airlangga adalah putra Raja Udayana dari Bali),
    b) kisah peristiwa penyerangan Raja Wurawari dari Wengker,
    c) kisah pelarian Airlangga ke Bukit Wonogiri diikuti Narottama,
    d) pendirian pertapaan di Pucangan, dan
    e) peperangan Airlangga dengan Raja Wurawari.

    Usaha-usaha Airlangga mengembalikan Kerajaan Medang Mataram (selanjutnya dikenal pula sebagai Kerajaan Kahuripan) sebagai berikut.
    a) Menguasai Sriwijaya dengan mengawini putri dari Sriwijaya yang melahirkan Samarawijaya dan Panji Garasakan.
    b) Membangun bendungan Waringin Sapto.
    c) Membangun pelabuhan Kambang Putih di Tuban.

    Agama yang dipeluk Airlangga adalah Hindu Wisnu, tampak dari arca-arca yang ditemukan di candi Belahan, di mana Airlangga dipatungkan sebagai Wisnu yang tengah mengendarai Ganda. Kesusastraan pada masa pemerintahan Airlangga cukup maju. Antara lain yang terkenal adalah kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa (1030) dan kitab Calon Arang (anonim).

    Sebelum mengundurkan diri dari takhta, Airlangga membagi dua wilayah kerajaannya. Tugas membagi dua kerajaan ini dengan adil diserahkan kepada Mpu Baradha. Mpu Baradha terkenal karena kesaktiannya. Wilayah Kahuripan dibagi menjadi Jenggala/Kahuripan/Singasari yang diberikan kepada Panji Garasakan dan Panjalu/Kediri/Daha yang diberikan kepada Samarawijaya. Batas kedua kerajaan adalah Gunung Kawi, sebelah utara Gunung Kawi adalah milik Kerajaan Panjalu dan sebelah selatan Gunung Kawi adalah wilayah Kerajaan Jenggala. Alasan pembagian kerajaan ini adalah sebab Putri Mahkota, Sri Sanggramawijaya tidak bersedia menjadi raja dan memilih menjadi pertapa. Itulah sebabnya Airlangga membangun pertapaan di Penanggungan. Dalam pertapaannya di Penanggungan tersebut, Sri Sanggramawijaya mendapat gelar Dewi Kilisuci. Untuk menghindari pertengkaran antara kedua putra selir, Panji Garasakan dan Samarawijaya, Airlangga memerintahkan Kahuripan (Medang Mataram) dibagi dua. Namun, setelah Airlangga wafat, peperangan tetap terjadi dan dimenangkan oleh Panjalu (Kediri) dipimpin Jayabaya.

10. Kerajaan Kediri

a. Berdirinya Kerajaan Kediri
Pembagian Kerajaan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Seperti telah disebutkan dalam pembahasan terdahulu, begitu Raja Airlangga wafat, terjadilah peperangan antara kedua bersaudara tersebut. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.

b. Perkembangan politik
Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri. Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala.

Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.

Raja Jayabaya (1135 M – 1159 M)
Raja Jayabaya menggunakan lencana kerajaan berupa lencana Narasingha. Kemenangannya atas peperangan melawan Jenggala diperingatinya dengan memerintahkan Mpu Sedah menggubah kakawin Bharatayudha. Karena Mpu Sedah tidak sanggup menyelesaikan kakawin tersebut, Mpu Panuluh melanjutkan dan menyelesaikannya pada tahun 1157 M. Pada masa pemerintahannya ini, Kediri mencapai puncak kejayaan.

Raja Sarweswara (1159 – 1169 M)
Pengganti Jayabaya adalah Raja Sarweswara. Tidak banyak yang diketahui mengenai raja ini sebab terbatasnya peninggalan yang ditemukan. Ia memakai lencana kerajaan berupa Ganesha.

Raja Kameswara (1182 – 1185 M)
Selama beberapa waktu, tidak ada berita yang jelas mengenai raja Kediri hingga munculnya Kameswara. Pada masa pemerintahannya ini ditulis kitab Kakawin Smaradahana oleh Mpu Darmaja yang berisi pemujaan terhadap raja, serta kitab Lubdaka dan Wretasancaya yang ditulis oleh Mpu Tan Alung. Kitab Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang akhirnya masuk surga dan Wretasancaya berisi petunjuk mempelajari tembang Jawa Kuno.

Raja Kertajaya (1185 – 1222 M)
Pada masa pemerintahan Kertajaya, terjadi pertentangan antara para brahmana dan Raja Kertajaya. Hal ini terjadi karena para brahmana menolak menyembah raja yang menganggap dirinya sebagai dewa. Para brahmana lalu meminta perlindungan pada Ken Arok. Kesempatan ini digunakan Ken Arok untuk memberontak terhadap Kertajaya. Pada tahun 1222 M terjadi pertempuran hebat di Ganter dan Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya.

c. Kehidupan sosial masyarakat
Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat.

Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.
  • Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
  • Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).
  • Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta.

Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.

11. Kerajaan Singasari

a. Berdirinya Kerajaan Singasari dan perkembangan politik
Setelah berhasil mengalahkan Kertajaya, Ken Arok mendirikan Kerajaan Singasari dan berkuasa selama lebih kurang lima tahun, yaitu dari tahun 1222 sampai tahun 1227. Ken Arok tewas dibunuh seorang pengalasan pada tahun 1227 atas perintah Anusapati. Anusapati adalah anak Tunggul Ametung dan Ken Dedes (anak tiri Ken Arok). Ken Arok lalu didharmakan di Kagenengan dalam bangunan suci agama Syiwa dan Buddha. Adapun Anusapati kemudian memerintah Singasari selama 21 tahun (1224 – 1248).

Pembunuhan Ken Arok oleh Anusapati menimbulkan dendam putra Ken Arok dan Ken Umang, yaitu Tohjoyo. Ia berusaha membalas kematian ayahnya dan berhasil membunuh Anusapati pada tahun 1248, ketika keduanya tengah menyabung ayam. Anusapati didharmakan di candi Kidal. Tohjoyo naik takhta menjadi Raja Singasari, namun hanya untuk beberapa bulan. Sebabnya adalah Ranggawuni, putra Anusapati, menyerang Keraton Singasari dibantu para pengikutnya untuk membalas kematian ayahnya. Dalam serangan tersebut, Tohjoyo berhasil melarikan diri, namun kemudian meninggal akibat luka-luka yang dideritanya di Katung Lumbung.

Ranggawuni naik takhta menjadi Raja Singasari dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardhana dan memerintah dari tahun 1248 – 1268. Ia berusaha menghentikan usahausaha balas dendam dengan memberi jabatan-jabatan tertentu. Salah satunya adalah mengangkat Mahisa Cempaka, putra Mahisa Wongatelang (Mahisa Wongateleng adalah putra Ken Arok dan Ken Dedes), menjadi Ratu Angabahaya dengan gelar Narasinghamurti. Pada tahun 1254, Wisnuwardhana mengangkat anaknya yang bernama Kertanegara menjadi raja muda (Yuwaraja). Wisnuwardhana meninggal pada tahun 1268 dan didharmakan sebagai Syiwa di Waleri dan sebagai Buddha Amoghapasa di Jajagu atau candi Jago. Tidak lama kemudian, Mahisa Cempaka juga meninggal dan didharmakan di Kumeper.

b. Masa pemerintahan Kertanegara
Kertanegara memerintah Singasari dari tahun 1268 hingga tahun 1292. Ia merupakan raja terbesar Kerajaan Singasari. Setelah naik takhta, ia bergelar Sri Maharajadhiraja Sri Kertanegara. Ia memiliki gagasan besar di bidang politik dan terkenal sebagai raja yang memiliki cita-cita meluaskan denah kekuasaan hingga meliputi seluruh Nusantara.

Usaha-usaha Kertanegara untuk mencapai cita-citanya itu sebagai berikut.
1) Usaha di dalam negeri
  • Untuk memperlancar pemerintahannya, Kertanegara dibantu oleh tiga orang mahamenteri, yaitu I Hino, I Sirikan, dan I Halu. Tugas mereka adalah mengatur dan meneruskan perintah raja melalui tiga menteri pelaksana, yaitu Rakryan Apatih, Rakryan Demung, dan Rakryan Kanuruhan.
  • Karena dipandang kurang mendukung gagasan raja, Mahapatih Raganatha diganti oleh Aragani. Namun, agar tidak kecewa, Raganatha diangkat menjadi adhyaka di Tumapel.
  • Karena dianggap masih punya hubungan erat dengan Kediri, Banyak Wide diangkat menjadi Bupati Semenep (Madura) dengan gelar Arya Wiraraja.
  • Angkatan perang, baik prajurit darat maupun armada laut, diperkuat dengan melengkapi peralatan dan persenjataannya.
  • Menumpas segala pemberontakan yang terjadi di dalam negeri, misalnya, Pemberontakan Bhayaraja (1270) dan Pemberontakan Mahesa Rangkah (1280).
  • Mengajak kerja sama lawan-lawan politik, misalnya, Jayakatwang (keturunan Raja Kediri) diangkat menjadi raja kecil di Kediri dan putranya, Ardharaja dijadikan menantu Kertanegara.
  • Raden Wijaya, putra Mahisa Cempaka, juga dijadikan menantu.
  • Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari para pemuka agama, diangkatlah seorang kepala agama Buddha dan seorang pendeta Mahabrahma sebagai pendamping raja.

2) Usaha ke luar negeri
  • Setelah armada lautnya kuat, Kertanegara mulai melebarkan sayap ke luar Jawa. Pertama-tama, Kertanegara ingin menguasai Sriwijaya. Pada tahun 1275, Kertanegara mengirimkan ekspedisi ke Melayu (Ekspedisi Pamalayu) untuk menghidupkan kembali Kerajaan Melayu di Jambi agar dapat menyaingi dan melemahkan Kerajaan Sriwijaya. Tindakan ini dimaksudkan untuk mencegah atau menahan gerak ekspansi prajurit Mongol yang dipimpin Kaisar Kublai Khan.
  • Pada tahun 1284, Kertanegara mengirimkan ekspedisi ke Bali dan berhasil menanamkan pengaruh dan kekuasaannya di sana.
  • Pada tahun 1286, Kertanegara mengirimkan sebuah Patung Amoghapasa beserta 14 pengiringnya kepada Raja Melayu, Mauliwamadewa. Hal itu dimaksudkan untuk mempererat dan memperkuat pertahanan Singasari – Melayu.
  • Menundukkan Jawa Barat (1289), Pahang di Melayu, dan Tanjungpura di Kalimantan karena daerah-daerah ini sangat strategis untuk menghadang ekspansi tentara Mongol.
  • Menjalin persahabatan dengan raja-raja di Semenanjung Malaka dan Indocina dengan jalan mengawinkan putri Kertanegara dengan Raja Indocina.

Pada masa pemerintahan Kertanegara, di Singasari telah berkembang pusat agama Buddha aliran Tantrayana. Hal ini terbukti dalam prasasti yang dituliskan pada lapik (alas) "Jaka Dolok" yang ada di Taman Simpang Surabaya. Lapik tersebut menyebutkan bahwa Kertanegara telah dinobatkan sebagai Jiwa atau Dhyani Buddha (Aksobhya). Masa pemerintahan Kertanegara berakhir ketika Kertanegara dibunuh oleh Jayakatwang, raja dari Kediri.

12. Kerajaan Majapahit

Info Lebih Lengkap Tentang Kerajaan Majapahit: Kerajaan Majapahit
a. Berdirinya Kerajaan Majapahit
Ketika Singasari jatuh ke tangan Jayakatwang, Raden Wijaya (menantu Kertanegara) lari ke Madura. Atas bantuan Arya Wiraraja, ia diterima kembali dengan baik oleh Jayakatwang dan diberi sebidang tanah di Tarik (Mojokerto). Ketika tentara Kublai Khan menyerbu Singasari, Raden Wijaya berpura-pura membantu menyerang Jayakatwang. Namun, setelah Jayakatwang dibunuh, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Mongol dan berhasil mengusirnya. Setelah itu, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit (1293) dan menobatkan dirinya dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.

b. Perkembangan politik
Pemerintahan Kertarajasa
Untuk meredam kemungkinan terjadinya pemberontakan, Raden Wijaya (Kertarajasa) melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
  • Mengawini empat putri Kertanegara dengan tujuan mencegah terjadinya perebutan kekuasaan antaranggota keluarga raja. Putri sulung Kertanegara, Dyah Sri Tribhuaneswari, dijadikan permaisuri dan putra dari pernikahan tersebut Jayanegara, dijadikan putra mahkota. Putri bungsu Kertanegara, Dyah Dewi Gayatri dijadikan Rajapatni. Dari putri ini, Kertarajasa memiliki dua putri, Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani diangkat menjadi Bhre Kahuripan dan Rajadewi Maharajasa diangkat menjadi Bhre Daha. Adapun kedua putri Kertanegara lainnya yang dinikahi Kertarajasa adalah Dyah Dewi Narendraduhita dan Dyah Dewi Prajnaparamita. Dari kedua putri ini, Kertarajasa tidak mempunyai putra.

  • Memberikan kedudukan dan hadiah yang pantas kepada para pendukungnya, misalnya, Lurah Kudadu memperoleh tanah di Surabaya dan Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas daerah Lumajang sampai Blambangan. Kepemimpinan Kertarajasa yang cukup bijaksana menyebabkan kerajaan menjadi aman dan tenteram. Ia wafat pada tahun 1309 dan dimakamkan di Sumping (Blitar) sebagai Syiwa dan di Antahpura (dalam kota Majapahit) sebagai Buddha. Arca perwujudannya adalah Harikaya, yaitu Wisnu dan Syiwa digambarkan dalam satu arca. Penggantinya adalah Jayanegara.

Pemerintahan Jayanegara
Masa pemerintahan Jayanegara dipenuhi pemberontakan akibat kepemim- pinannya kurang berwibawa dan kurang bijaksana. Pemberontakan-pemberontakan itu sebagai berikut.
  • Pemberontakan Ranggalawe pada tahun 1231. Pemberontakan ini dapat dipadamkan pada tahun 1309.
  • Pemberontakan Lembu Sora pada tahun 1311.
  • Pemberontakan Juru Demung (1313) disusul Pemberontakan Gajah Biru.
  • Pemberontakan Nambi pada tahun 1319. Nambi adalah Rakryan Patih Majapahit sendiri.
  • Pemberontakan Kuti pada tahun 1319. Pemberontakan ini adalah yang paling besar dan berbahaya. Kuti berhasil menduduki ibu kota kerajaan sehingga Jayanegara terpaksa melarikan diri ke daerah Bedander. Jayanegara kemudian dilindungi oleh pasukan Bhayangkari pimpinan Gajah Mada. Berkat kepemimpinan Gajah Mada, Pemberontakan Kuti dapat dipadamkan. 

Namun, meskipun berbagai pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan, Jayanegara justru meninggal akibat dibunuh oleh salah seorang tabibnya yang bernama Tanca. Ia lalu dimakamkan di candi Singgapura di Kapopongan.

Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
Oleh karena Jayanegara tidak berputra, sementara Gayatri sebagai Rajapatni telah menjadi biksuni, takhta Kerajaan Majapahit diserahkan kepada Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhana (1328 – 1350) yang menjalankan pemerintahan dibantu suaminya, Kertawardhana. Masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi diwarnai permasalahan dalam negeri, yakni meletusnya Pemberontakan Sadeng. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada yang pada saat itu baru saja diangkat menjadi Patih Daha.

Pemerintahan Hayam Wuruk
Tribhuwanatunggadewi terpaksa turun takhta pada tahun 1350 sebab Rajapatni Dyah Dewi Gayatri wafat. Penggantinya adalah putranya yang bernama Hayam Wuruk yang lahir pada tahun 1334. Hayam Wuruk naik takhta pada usia 16 tahun dengan gelar Rajasanegara. Dalam menjalankan pemerintahan, ia didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada.

Dalam kitab Negarakertagama disebutkan bahwa pada zaman Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mengalami masa kejayaan dan memiliki wilayah yang sangat luas. Luas kekuasaan Majapahit pada saat itu hampir sama dengan luas negara Republik Indonesia sekarang. Namun, sepeninggal Gajah Mada yang wafat pada tahun 1364, Hayam Wuruk tidak berhasil mendapatkan penggantinya yang setara. Kerajaan Majapahit pun mulai mengalami kemunduran. Kondisi Majapahit berada di ambang kehancuran ketika Hayam Wuruk juga wafat pada tahun 1389. Sepeninggalnya, Majapahit sering dilanda perang saudara dan satu per satu daerah kekuasaan Majapahit pun melepaskan diri. Seiring dengan itu, muncul kerajaan-kerajaan Islam di pesisir. Pada tahun 1526, Kerajaan Majapahit runtuh setelah diserbu oleh pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Raden Patah.

c. Struktur pemerintahan
Dalam struktur pemerintahan di Majapahit, raja dianggap sebagai penjelmaan dewa dan memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Roda pemerintahan dijalankan raja dibantu oleh putra raja, kerabat raja, dan beberapa pejabat pemerintah. Sebelum menduduki jabatan raja, putra mahkota biasanya diberi kekuasaan sebagai raja muda (Rajakumara atau Yuwaraja). Contohnya, sebelum dinobatkan menjadi raja, Hayam Wuruk lebih dahulu diangkat sebagai Rajakumara yang berkedudukan di Jimna.

Raja juga dibantu oleh dewan pertimbangan kerajaan atau Bhatara Saptaprabu. Tugas lembaga ini adalah memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada raja. Anggota dewan ini adalah para sanak saudara raja. Untuk masalah-masalah keagamaan, raja dibantu oleh dewan yang disebut Dharmadyaksa. Dharmadyaksa ri Kasainan bertugas menangani urusan agama Syiwa dan Dharmadyaksa ri Kasogatan bertugas menangani urusan agama Buddha. Para pejabat keagamaan ini dibantu oleh tujuh Dharma Upapati, yaitu Sang Panget i Tirwan, i Kandamulri, i Mangkuri, i Paratan, i Jambi, i Kandangan Rase, dan i Kandangan Atuha. Selain sebagai pejabat keagamaan, mereka juga merupakan kelompok cendekiawan.

Tiga lembaga pemerintahan tingkat atas di Majapahit sebagai berikut.
  • Sapta Prabu, merupakan sebuah dewan kerajaan. Anggota dewan ini adalah keluarga raja yang bertugas mengurusi soal keluarga raja, penggantian mahkota, dan urusan-urusan negara yang berhubungan dengan kebijaksanaan negara.
  • Dewan Menteri Besar, menerima perintah raja. Anggotanya berjumlah lima orang dan dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada. Dewan ini bertugas mengepalai urusan tata negara merangkap urusan angkatan perang dan kebijaksanaan.
  • Dewan Menteri Kecil, melanjutkan perintah raja. Beranggotakan tiga orang dan bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan raja.

Di tingkat tengah terdapat pemerintahan daerah yang dikepalai oleh bupati. Daerah ini biasanya disebut mancanegara. Adapun di tingkat bawah terdapat pemerintahan desa yang dikepalai seorang kepala desa. Di samping itu, masih ada jabatan raja-raja daerah atau disebut Paduka Bhatara. Mereka memerintah negaranegara daerah jajahan dibantu sejumlah pejabat daerah.

Raja Majapahit juga dibantu oleh tiga mahamenteri, yakni i Hino, i Halu, dan i Sirikan. Biasanya yang diangkat untuk menduduki jabatan ini adalah putra raja. Mahamenteri i Hino memiliki kedudukan paling tinggi karena di samping memiliki hubungan erat dengan raja, ia juga dapat mengeluarkan prasasti-prasasti. Para mahamenteri ini dibantu oleh para Rakryan Mantri atau sekelompok pejabat tinggi kerajaan yang merupakan badan pelaksana pemerintahan. Badan ini terdiri atas lima orang, yaitu Patih Amangkubumi, Rakyan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga, dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat ini disebut Sang Panca ri Wilwatikta atau Mantri Amancanegara.

d. Kehidupan kebudayaan
Zaman Majapahit menghasilkan banyak karya sastra. Periodisasi sastra masa Majapahit dibedakan menjadi dua, yaitu sastra zaman Majapahit awal dan sastra zaman Majapahit akhir. Karya sastra zaman Majapahit awal adalah kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca (1365), kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, kitab Arjuna Wiwaha karangan Mpu Tantular, kitab Kunjarakama (anonim), dan kitab Parthayajna (anonim).

Karya sastra zaman Majapahit akhir ditulis dengan bahasa Jawa dalam bentuk tembang (kidung) dan gancaran (prosa). Karya-karya sastra pada zaman ini adalah kitab Pararaton yang berisi tentang riwayat raja-raja Majapahit, kitab Sundayana berisi tentang Peristiwa Bubat, kitab Surandaka menceritakan tentang Pemberontakan Sora di Lumajang, kitab Ranggalawe tentang Pemberontaan Ranggalawe dari Tuban, kitab Panji Wijayakrama berisi tentang riwayat Raden Wijaya, kitab Vsana Jawa menceritakan tentang penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, kitab Usana Bali mengisahkan tentang kekacauan Bali akibat keganasan Maya Danawa, kitab Pamancangah, kitab Panggelaran, kitab Calon Arang, dan kitab Korawasrama.

Jenis peninggalan kebudayaan yang lain dari Kerajaan Majapahit adalah candi. Candi-candi peninggalan Majapahit, antara lain, candi Sumberjati, candi Sanggapura, candi Panataran, dan candi Pari di dekat Porong. Candi Pari memiliki keistimewaan, yaitu arsitekturnya memperlihatkan adanya langgam bangunan dari Campa.

13. Kerajaan Bali

a. Raja-raja dinasti Warmadewa
Berdasarkan prasasti Blanjong yang berangka tahun 914, Raja Bali pertama adalah Khesari Warmadewa. Istananya berada di Singhadwalawa. Raja berikutnya adalah Sang Ratu Sri Ugrasena. Ia memerintah sejak tahun 915 sampai 942. Istananya di Singhamandawa. Masa pemerintahannya sezaman dengan Mpu Sindok di Jawa Timur. Sang Ratu Sri Ugrasena meninggalkan sembilan prasasti, satu di antaranya adalah prasasti Bobahan I. Setelah wafat, Sang Ratu Sri Ugrasena dicandikan di Air Mandatu dan digantikan oleh raja-raja yang memakai gelar Warmadewa (dinasti Warmadewa).

Raja pertama dari dinasti Warmadewa adalah Aji Tabanendra Warmadewa. Raja ini memerintah tahun 955 – 967 M bersama istrinya, Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi. Penggantinya adalah Jayasingha Warmadewa. Raja inilah yang membuat telaga (pemandian) dari sumber suci di desa Manukraya. Pemandian itu disebut Tirta Empul, terletak di dekat Tampaksiring. Raja Jayasingha Warmadewa memerintah sampai tahun 975 M.

Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah tahun 975 – 983 M. Tidak ada keterangan lain yang dapat diperoleh dari raja ini, kecuali tentang anugerah raja kepada desa Jalah. Pada tahun 983 M, muncul seorang raja wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (983 – 989 M).

Pengganti Sri Wijaya Mahadewi bernama Dharma Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, Gunapriya Dharmapatni atau lebih dikenal dengan nama Mahendradatta, putri dari Raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur. Sebelum naik takhta, diperkirakan Udayana berada di Jawa Timur sebab namanya tergores dalam prasasti Jalatunda.

Pada tahun 1001 M, Gunapriya meninggal dan dicandikan di Burwan. Udayana meneruskan pemerintahannya sendirian hingga wafat pada tahun 1011 M. Ia dicandikan di Banuwka. Hal ini disimpulkan dari prasasti Air Hwang (1011) yang hanya menyebutkan nama Udayana sendiri. Adapun dalam prasasti Ujung (Hyang) disebutkan bahwa setelah wafat, Udayana dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka.

Raja Udayana mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga tidak pernah memerintah di Bali karena menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa Timur. Oleh karena itu, yang menggantikan Raja Udayana dan Gunapriya adalah Marakata. Setelah naik takhta, Marakata bergelar Dharmawangsawardhana Marakata PangkajasthanaUttunggadewa. Marakata memerintah dari tahun 1011 hingga 1022. Masa pemerintahan Marakata sezaman dengan Airlangga.

Oleh karena adanya persamaan unsur nama dan masa pemerintahannya, seorang ahli sejarah, Stuterheim, berpendapat bahwa Marakata sebenarnya adalah Airlangga. Apalagi jika dilihat dari kepribadian dan cara memimpin yang memiliki kesamaan. Oleh rakyatnya, Marakata dipandang sebagai sumber kebenaran hukum yang selalu dilindungi dan memerhatikan rakyat. Ia sangat disegani dan ditaati oleh rakyatnya. Persamaan lain Marakata dengan Airlangga adalah Marakata juga membangun sebuah presada atau candi di Gunung Kawi di daerah Tampaksiring, Bali.

Setelah pemerintahannya berakhir, Marakata digantikan oleh Raja Anak Wungsu. Ia bergelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i Burwan Bhatara Lumah i Banu Wka. Anak Wungsu adalah Raja Bali Kuno yang paling banyak meninggalkan prasasti (lebih dari 28 prasasti) yang tersebar di Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan. Anak Wungsu memerintah selama 28 tahun, yaitu dari tahun 1049 sampai 1077. Ia dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Anak Wungsu tidak memiliki keturunan. Ia wafat pada tahun 1077 dan dimakamkan di Gunung Kawi, Tampaksiring. Berakhirlah dinasti Warmadewa.

b. Pemerintahan setelah dinasti Warmadewa
Setelah berakhirnya pemerintahan dinasti Warmadewa, Bali diperintah oleh beberapa orang raja silih berganti. Raja-raja yang perlu diketahui sebagai berikut.
  • Jayasakti
    Jayasakti memerintah dari tahun 1133 sampai tahun 1150 M, sezaman dengan pemerintahan Jayabaya di Kediri. Dalam menjalankan pemerintahannya, Jayasakti dibantu oleh penasihat pusat yang terdiri atas para senopati dan pendeta, baik dari agama Hindu maupun dari agama Buddha. Kitab undang-undang yang digunakan adalah kitab Utara Widhi Balawan dan kitab Rajawacana. Kitab undang-undang ini merupakan peninggalan kebudayaan dari masa pemerintahan Jayasakti yang cukup tinggi. Kitab ini juga dipakai pada masa pemerintahan Ratu Sakalendukirana dan penerusnya. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan, diketahui bahwa pada masa pemerintahan Jayasakti, agama Buddha dan Syiwa berkembang dengan baik. Aliran Waisnawa juga berkembang pada waktu itu. Raja Jayasakti sendiri disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.

  • Ragajaya
    Ragajaya mulai memerintah pada tahun 1155 M, namun kapan berakhirnya tidak diketahui sebab tidak ada sumber tertulis yang menjelaskan hal tersebut.

  • Jayapangus (1177 – 1181)
    Raja Jayapangus dianggap sebagai penyelamat rakyat yang terkena malapetaka akibat lalai menjalankan ibadah. Raja ini menerima wahyu dari dewa untuk mengajak rakyat kembali melakukan upacara keagamaan yang sampai sekarang dikenal dan diperingati sebagai upacara Galungan. Kitab undang-undang yang digunakannya adalah kitab Mana Wakamandaka.

  • Ekajalancana
    Ekajalancana memerintah pada sekitar tahun 1200 – 1204 M. Dalam memerintah, Ekajalancana dibantu oleh ibunya yang bernama Sri Maharaja Aryadegjaya.

  • Sri Asta Asuratna Bumi Banten
    Sri Asta Asuratna Bumi Banten diyakini sebagai raja Bali yang terakhir. Setelah itu, Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada dan menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit.

C. Kehidupan sosial budaya masyarakat
Kehidupan masyarakat di Bali dan kebudayaannya sangat lekat terpengaruh oleh agama Hindu. Agama Hindu yang berkembang di Bali ini sudah bercampur dengan unsur budaya asli. Salah satu contoh yang paling nyata dapat dilihat adalah bahwa dewa tertinggi dalam agama Hindu-Buddha bukanlah Syiwa, melainkan Sang Hyang Widhi yang sama kedudukannya dengan Sang Hyang Wenang di Jawa. Selain itu, masyarakat Bali juga mengenal dewa-dewa setempat, seperti dewa air dan dewa gunung (di Jawa kiranya sejajar dengan Grama Desa). Di bawah desa, mereka juga memuja roh nenek moyang dan cikal bakal. Upacara penghormatan leluhur disebut Pitra Yodnya. Sebagai tempat suci, dahulu digunakan candi. Tetapi, sejak berdirinya Kerajaan Gelgel dan Klungkung, penggunaan candi sebagai tempat suci dihapus.

Sebagai pengganti fungsi candi dibuatkan kuil berupa kompleks bangunan yang sering disebut pura. Pada waktu upacara, dewa atau roh yang dipuja diturunkan dari surga dan ditempatkan pada kuil untuk diberi sesaji sebagai penghormatan. Upacara itu, misalnya, diadakan pada hari Kuningan (hari turunnya dewa dan pahlawan), pada hari Galungan (menjelang Tahra dan Saka), dan hari Saraswati (pelindung kesusastraan). Pura dalam lingkungan kerajaan disebut Pura Dalem, bentuknya seperti candi Bentar dan dimaksudkan sebagai kuil kematian. Adapun untuk keluarga raja dibuatkan pura khusus yang disebut Sanggah atau Merajan.

Di Bali, dewa tidak dipatungkan. Patung-patung di Bali hanya berfungsi sebagai hiasan. Adanya patung dewa di Bali diyakini sebagai bukti adanya pengaruh Jawa. Di dalam kuil dibuatkan tempat tertentu yang disediakan untuk tempat turunnya dewa atau roh nenek moyang yang telah menjalani prosesi ngaben. Ngaben adalah budaya pembakaran mayat atau tulang surga. Pembakaran mayat adalah suatu kebiasaan di India yang diadaptasi di Bali. Roh yang telah menjalani upacara ngaben dianggap telah suci. Ida Sang Hyang Widhi sebagai dewa tertinggi tidak dibuatkan pura khusus, namun pada setiap kuil dibuatkan bangunan suci untuknya berbentuk Padmasana atau Meru beratap dua.

Masyarakat Bali mengenal pembagian golongan atau kasta yang terdiri dari brahmana, ksatria, dan waisya. Ketiga kasta tersebut dikenal dengan Triwangsa. Di luar ketiga golongan tersebut masih ada lagi golongan yang disebut jaba, yaitu anggota masyarakat yang tidak memegang pemerintahan. Tiap-tiap golongan mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak sama dalam bidang keagamaan.

Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, dikenal adanya beberapa golongan pekerja khusus, di antaranya pande besi, pande emas, dan pande tembaga. Mereka bertugas membuat alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, senjata, perhiasan, dan sebagainya. Hubungan dengan Jawa sudah ada sejak zaman pemerintahan Udayana dan Gunapriya, dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti raja-raja Bali yang memakai bahasa Jawa Kuno.

14. Kerajaan Sunda

Berdasarkan naskah kuno yang ditemukan di Jawa Barat, setelah Tarumanegara runtuh, berulang kali terjadi perpindahan pusat kerajaan Hindu. Secara berturut-turut, pusat-pusat kerajaan itu adalah Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakuan Pajajaran.
a. Kerajaan Galuh
Sejarah di Jawa Barat setelah Tarumanegara tidak banyak diketahui. Kegelapan itu tersingkap sedikit oleh prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah, berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal dibuat oleh Sanjaya (Raja Mataram) sebagai peringatan atas kemenangannya. Prasasti ini menyebutkan tentang Raja Sanna (Sena), ayah dari Sanjaya. Tokoh yang sama disebutkan pula dalam Carita Parahyangan.

Sena adalah anak Mandiminyak dari hasil hubungan gelap dengan Puah Rababu, istri Rahyang Sempakwaja. Rahyang Sempakwaja adalah kakak sulung Mandiminyak, Raja Galuh. Diduga karena raja tidak berputra, setelah Mandiminyak meninggal, Sena diangkat menjadi raja dan berkuasa selama tujuh tahun. Suatu ketika, Sena diserang oleh Rahyang Purbasora (saudara seibu) dan diasingkan ke Gunung Merapi beserta keluarganya. Di sinilah anaknya lahir dan diberi nama Sanjaya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya di Denuh. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan Purbasora dan naik takhta Kerajaan Galuh.

Menurut naskah Keropak 406, Sanjaya yang disebut Harisdarma menjadi menantu Raja Tarusbawa (Tohaan ri Sunda) kemudian diangkat menjadi raja menggantikan Tarusbawa. Agama yang berkembang pada masa Kerajaan Galuh adalah Hindu-Syiwa. Hal itu dijelaskan pada prasasti Canggal yang menyatakan adanya pemujaan Dewa Syiwa. Raja Galuh juga menganut Sewabakti ri Batara Upati (upati = utpata = nama lain dari Dewa Yama yang identik dengan Syiwa).

b. Kerajaan Prahajyan Sunda
Nama Sunda muncul lagi pada prasasti yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang, daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka (1030 M), berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Nama tokoh yang disebut adalah Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Skalabhuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, sedangkan daerah kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda. Prasasti itu namanya Sanghyang Tapak.

Prasasti tersebut, antara lain, menyebutkan bahwa pada tahun 1030 M, Jayabhupati membuat daerah larangan di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah larangan itu berupa sebagian sungai yang siapa pun dilarang mandi dan menangkap ikan di dalamnya. Seseorang yang melanggar larangan akan terkena kutukan yang mengerikan, misalnya, akan terbelah kepalanya, terminum darahnya, atau terpotong-potong ususnya.

Berdasarkan gelarnya yang menunjukkan persamaan dengan gelar Airlangga di Jawa Timur dan masa pemerintahannya pun bersamaan, ada dugaan bahwa antara kedua kerajaan tersebut ada hubungan atau pengaruh. Akan tetapi, Jayabhupati berulang kali menyatakan bahwa dirinya adalah Haji ri Sunda (raja di Sunda). Jadi, Jayabhupati bukan raja bawahan Airlangga. Tetapi, karena kutukan seperti yang disebutkan pada prasasti Sanghyang Tapak tidak biasa terdapat dalam prasasti yang berbahasa Sunda, ada kemungkinan bahwa Jayabhupati bukan orang Sunda asli.

Agama yang dianut Sri Jayabhupati adalah Hindu Waisnawa. Ini ditunjukkan oleh gelarnya (Wisnumurti). Agama yang sama dianut pula oleh Raja Airlangga. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa agama resmi yang dianut penduduk Jawa pada awal abad ke-11 adalah Hindu Waisnawa.

Jika dicocokkan dengan Carita Parahyangan dan naskah Keropak 406, Jayabhupati dapat dipersamakan dengan Rakryan Darmasiksa yang berkuasa di Sunggalah selama 12 tahun kemudian bertakhta di Pakuan Pajajaran. Oleh karena itu, ada dugaan bahwa Kerajaan Sunda pada masa pemerintahan Sri Jayabhupati berpusat di Pakuan Pajajaran, tetapi tidak lama kemudian pusat kerajaannya dipindahkan ke Kawali (daerah Cirebon).

c. Kerajaan Kawali
Tidak diketahui secara pasti pada zaman pemerintahan siapakah pusat Kerajaan Sunda mulai berada di Kawali. Akan tetapi, berdasarkan prasasti-prasasti yang terdapat di Astanagede (Kawali), dapat diketahui bahwa setidaknya pada masa pemerintahan Rahyang Niskala Wastu Kancana, pusat kerajaan sudah berada di sana. Istananya bernama Surawisesa. Disebutkan dalam prasasti-prasasti tersebut bahwa baginda raja telah membuat selokan di sekeliling kerajaan dan desa-desa untuk rakyatnya.

Menurut kitab Pararaton, pada tahun 1357 M terjadi Peristiwa Pasundan Bubat atau Perang Bubat, yaitu peperangan antara Sunda dan Majapahit. Pada masa itu, Sunda diperintah oleh Prabu Maharaja (ayah Wastu Kancana) dan Majapahit diperintah oleh Raja Hayam Wuruk. Dalam pertempuran itu, Prabu Maharaja gugur. Ketika Peristiwa Bubat terjadi, Wastu Kencana masih kecil sehingga pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada pengasuhnya, yaitu Hyang Bumisora. Ia menjalankan pemerintahan selama 14 tahun (1357 – 1371).

Setelah dewasa, Wastu Kancana menerima kembali tampuk pemerintahan dari Hyang Bumisora. Wastu Kancana memerintah cukup lama, dari tahun 1371 – 1471. Hal ini disebabkan karena Wastu Kancana selalu menjalankan agama dengan baik dan sangat memerhatikan kesejahteraan rakyatnya sehingga semua lapisan masyarakat tetap mendukungnya. Setelah wafat, ia dimakamkan di Nusalarang. Penggantinya adalah putranya sendiri, Tohana di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Raja Rahyang Ningrat Kancana memerintah hanya selama tujuh tahun. Setelah wafat, ia dimakamkan di Gunung Tiga.

d. Kerajaan Pakuan Pajajaran
Setelah Raja Ningrat Kancana jatuh, ia digantikan putranya, Sang Ratu Jayadewata. Dalam prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai "... yang kini menjadi Susuhunan di Pakuan Pajajaran". Adapun prasasti tersebut menyebutkan gelar Sang Jayadewata, yaitu Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Sejak pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat kerajaan beralih dari Kawali ke Pakuan Pajajaran yang dalam Carita Parahyangan disebut "Sri Bima Unta Rayana Madura Sutradipati". Menurut kitab tersebut, raja menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab hukum yang berlaku sehingga tercipta keadaan yang aman dan tenteram, tidak terjadi kerusuhan atau perang.

Pada masa itu, penduduk Kerajaan Sunda sudah ada yang memeluk agama Islam. Hal ini diketahui dari berita Portugis yang berasal dari Tome Pires (1513) yang menyebutkan bahwa di Cimanuk telah banyak dijumpai orang yang menganut agama Islam. Sang Ratu Jayadewata sudah memperhitungkan meluasnya pengaruh Islam di wilayah Kerajaan Sunda. Untuk membendungnya, baginda menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Dalam rangka menjalin hubungan tersebut, diutuslah Ratu Samiam dari Sunda ke Malaka pada tahun 1512 – 1521. Ketika Hendrik de Heme memimpin perutusannya ke Sunda pada tahun 1522, Ratu Samiam sudah berkuasa sebagai raja dan disebut Prabu Surawisesa. Rupanya, dialah yang menggantikan Raja Jayadewata. Ratu Samiam memerintah selama 14 tahun (1521 – 1535). Setelah itu, Ratu Samiam digantikan oleh Prabu Ratudewata yang memerintah tahun 1535 – 1543. Pada masa itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda, antara lain, dari kelompok Islam yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf dari Kerajaan Banten. Keterangan ini tidak bertentangan dengan naskah Purwaka Caruban Nagari yang bertalian dengan sejarah Cirebon.

Jatuhnya Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda, ke tangan pasukan Islam pada tahun 1527 menyebabkan terputusnya hubungan antara Portugis dan Kerajaan Sunda. Keadaan ini melemahkan pertahanan Sunda sehingga satu demi satu wilayah pantainya jatuh ke tangan musuh. Keadaan semakin buruk karena Prabu Ratudewata lebih memusatkan diri pada masalah-masalah agama berkaitan dengan perannya sebagai pendeta dan kurang memerhatikan kesejahteraan rakyat. Penggantinya, Sang Ratu Saksi yang memerintah tahun 1443 – 1551, adalah raja yang kejam dan gemar main wanita. Demikian pula dengan penggantinya, Tohaan di Majaya, yang memerintah tahun 1551 – 1567. Ia lebih suka memperindah istana dan berfoya-foya. Pada masa pemerintahan Raja Nuisya Mulya, raja yang terakhir, Kerajaan Sunda akhirnya jatuh ke tangan orang-orang Islam (1579).

Sumber : bse.kemdikbud.go.id

Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia
MARKIJAR : MARi KIta belaJAR

Posting Komentar untuk "Kerajaan Hindu - Buddha di Indonesia (1/2)"